Sejarah
Pada awalnya, di Pulau Maria belum ada gereja Katolik, meskipun di sana sudah ada umat Katolik. Pada tahun 1976, umat Katolik Pulau Maria beribadat ke Stasi Padang Mahondang. Namun, apabila musim banjir, mereka beribadat ke Aekkanopan (paroki). Mereka tidak pergi ke Kisaran karena jalan ke Aekkanopan lebih bagus daripada ke Kisaran.
Prakarsa dari Bapak Sinabariba (sebelumnya beragama HKBP) untuk membentuk perkumpulan Katolik di Sei Piring (tahun 1976) sangat membantu bagi umat di Pulau Maria. Mengingat jarak antara Sei Piring dengan Pulau Maria tidak terlalu jauh, maka umat dari Pulau Maria beribadat ke Sei Piring. Mayoritas umat Sei Piring adalah pedagang, sehingga setiap hari Minggu I (masa gajian) sangat sedikit orang yang datang ke gereja. Umat Pulau Maria yang datang ke Sei Piring sering hanya berjumpa dengan beberapa orang saja yang beribadat. Hal ini membuat umat dari Pulau Maria sering merasa kecewa.
Di Pulau Maria sendiri ada seorang bapak yang awalnya adalah umat Katolik pindah agama ke Protestan (HKBP) karena tidak adanya gereja Katolik di Pulau Maria. Melihat mobilitas umat Katolik yang pergi ke Sei Piring, beliau berniat kembali ke Katolik dan mengusulkan agar pelaksanaan ibadat diadakan di Pulau Maria. Hal itu baru terwujud setelah bapak A. Tampubolon (awalnya HKBP) mengusulkan agar ibadat dilangsungkan di rumahnya. Atas permintaan paroki, Bapak A. Tampubolon dan J. Samosir diutus untuk mengikuti kursus pengurus Gereja di PPU-Pematangsiantar. Suatu ketika terjadi konflik antara Bapak J. Samosir dengan A. Tampubolon, sehingga Bapak A. Tampubolon tidak lagi bersedia memberikan rumahnya sebagai tempat berkumpul/beribadat. Bapak A. Tampubolon kembali ke HKBP. Oleh karena itu bapak J. Samosir mengusulkan pendirian gedung gereja Katolik di Pulau Maria. Kira-kira tahun 1977/1978, gedung gereja sederhana berukuran 4x6 m didirikan di atas tanah milik Bapak P. Malau yang luasnya 5x20 m. Tanah dan gedung gereja itu berada di Jl. Pulau Tanjung – Air Batu. Bahan-bahan bangunan yang berhasil dikumpulkan dari umat antara lain: seng dari Bapak J. Samosir, bangku dan papan dari S. Panjaitan (seorang Muslim, panglong; punya relasi yang dekat dengan Bapak Sihotang/Op. Tio Doli (alm.), tepas dari Bapak Sihotang bersama umat yang lain.
Mengingat status tanah adalah pinjaman, maka diadakan doa rosario bergiliran setiap minggu dengan agenda pengumpulan dana Rp 250 / KK. Jumlah umat pada periode ini sudah mencapai kurang lebih 14 KK dan sebagai ‘porhanger sementara’ adalah Bapak Sinabariba (dari Sei Piring). Bapak Sinabariba digantikan oleh Bapak Sihite (pindah dari Sei Naetek ke Pulau Maria karena musim banjir). Hasil pengumpulan dana dari doa rosario bergiliran dipakai untuk membeli tanah di dekat rel Kereta Api (lokasi gereja saat ini). Luas tanahnya kira-kira 3 rante yang dibeli pada tahun1979. Doa rosario dilanjutkan dengan sasaran membeli bahan-bahan bangunan. Selain doa rosario, diadakan juga pengedaran kartu-kartu untuk meminta sumbangan kepada donatur, ditambah dana dari.
Ibu R. Br. Hotang (KDS) dan Ibu R. Br. Ginting (Bendahara) |
Pada tahun 2009 gereja yang tergolong bagus itu direhab dan rampung tahun 2010. Perehaban terjadi dengan penambahan bagian pengimaman dan penataan interior sehingga semakin sakral dan tergolong bagus. Pencahayaan dan pengapikan warna juga sedemikian sehingga gereja bagian dalam sangat indah.
Selain itu, untuk peningkatan devosi kepada Bunda Maria sebagai pelindung Stasi ini dibangun dekat dengan pengimaman dan menambah kesakralan bangunan gereja ini. Satu hal yang pantas dibanggakan dari kesatuan umat stasi ini ialah bahwa semangat mereka untuk membangun gereja ini sungguh menggembirakan. Mereka mengumpulkan dana dari umat stasi sendiri dengan cukup banyak lebih dari Rp 100.000.000. Di stasi ini peranan para ibu dalam kepengurusan gereja sangat kentara. Baik bagian dalam maupun sekitar bagian luar gedung gereja selalu nampak tertata rapi dan bersih. Selamat.
Gua Maria terletak di samping kiri pengimaman yang menambah sakralnya suasana gereja |
STASI SANTO PETRUS PADANGMAHONDANG I.
Sejarah.
Pada tahun 1963 di kecamatan Pulau Rakyat tepatnya di Padang Mahondang (± 12 km ke arah timur Pulau Raja), terdapat lahan kosong yang cocok dijadikan persawahan atau panombangan baru. Berita ini tersiar sampai ke pulau samosir, sehingga banyak orang Samosir datang ke Padang Mahondang dengan tujuan bertani atau manombang. Perlu diketahui bahwa daerah ini masih hutan, terbukti masih banyak pohon besar yang harus ditebang agar dapat dijadikan persawahan.
Di antara orang-orang yang merantau ini ada yang beragama katolik. Pertama-tama mereka beribadat di rumah-rumah karena gereja belum dibangun. Rumah yang biasa dipakai sebagai tempat berdoa adalah rumah Badu Lubis (alm.) dan rumah Dewan Tamba (alm.). Pemimpin perkumpulan doa ini adalah bapak A. Massius Sinaga (alm.). Bapak inilah yang bersusah payah mengumpulkan bapak-bapak untuk berkumpul. Ibu-ibu belum ada karena isteri mereka masih tinggal di Samosir. Kegiatan ibadat di rumah ini berlangsung hampir 1 tahun.
Pada awal tahun 1964 umat mulai mendirikan gereja secara darurat, bertempat di Aek Kalubi sekarang. Gereja itu terbuat dari tiang kayu bulat, dinding dari sanggar yang diikat dengan rapi, lantai tanah, atap rumbia dan tempat duduk terbuat dari kayu bulat. Pada tahun 1965, gedung gereja ini pindah ke tempat lain yaitu di Suka Ramai (tempat gereja sekarang) yang dibeli dengan swadaya umat dari Bapak J. Haro (alm.), seorang umat Katolik, seluas 40x40 m. Pada tahun ini umat bertambah sekitar 70 KK, karena sesudah peristiwa G30S/PKI orang-orang yang tidak beragama dianggap sebagai anggota PKI. Agama parmalim tidak diakui di Indonesia, sehingga kebanyakan dari agama ‘parmalim’ masuk gereja katolik.
Perkembangan umat yang cukup pesat membuat stasi ini berniat membangun kembali gedung gereja dengan ukuran yang lebih besar. Akhirnya pada tahun 1966 gedung gereja dibangun dengan ukuran 7x10 m, tiang kayu bulat, dinding dari gedek, atap terbuat dari lalang, lantai tanah, dan tempat duduk dari kayu bulat. Porhanger pada waktu itu adalah A.Massius Sinaga.
Saat Perayaan Jumat Agung |
Pada periodisasi tahun 1970 Bapak Alboin Tamba (alm.) dipilih menjadi porhanger menggantikan A. Massius Sinaga. Pada masa kepemimpinan bapak Alboin Tamba, kehadiran umat di gereja berkurang, karena dana pembangunan gereja berupa beras tidak jelas (hilang). Hal ini mengakibatkan perpecahan, umat Katolik Padang Mahondang menjadi dua, yakni ‘Katolik Aek Niongkal’ dan ‘Katolik Suka Ramai’. Karena situasi ini, pada Juni 1970 umat memilih kembali porhanger, yaitu Bapak Haloho. Setelah Pastor Paroki mengetahui perpecahan ini, beliau datang dan menasihati umat untuk bersatu kembali. Pastor datang untuk merayakan Misa tetapi harus di gereja lama (Suka Ramai). Hal ini membuat umat bersatu kembali.
Pada tahun 1972 gedung gereja dibangun kembali menjadi semi-permanen, dengan swadaya dari umat yakni Rp. 500 per-KK. Umat yang kurang mampu menggantinya dengan 4 kaleng pasir. Setelah dana terkumpul, pembangunan gereja diserahkan kepada tukang dari Sei Piring bernama Kayun. Tetapi tukang itu melarikan uang pembangunan, sehingga pembangunan terhenti selama 2 bulan. Agar pembangunan dapat dilanjutkan, para pengurus sepakat untuk memohon bantuan kepada Bapa Uskup dan mengutus bapak M. Sirait ke sana. Dalam tempo 2 minggu Bapa Uskup mengirimkan bahan bangunan gereja. Namun, Pastor tetap melakukan pencarian terhadap Si Kayun (kepala tukang). Setelah ditemukan, Kayun diminta membayar ganti rugi, yakni tanah seluas o,5 ha yang terletak di dekat titi Pulau raja (depan Rumah Makan ‘Status Quo’ sekarang).
Jumat Agung |
Tahun 1975 penduduk desa ini semakin ramai dengan kedatangan orang-orang dari berbagai daerah untuk membuka lahan pertanian. Umat Katolik pun bertambah sehingga mencapai 200 KK. Kegiatan gereja juga semakin baik seperti PIK yang mengunjungi umat Katolik yang sakit.
Pada tanggal 18 Nopember 1974, Bapak A. Sarma Sinaga menjadi Porhanger menggantikan Bapak Sihaloho, karena sakit. Pada masa kepemimpinan Bapak Sarma penyetoran kolekte I ke Paroki mulai terlaksana (sebelumnya tidak pernah). Akan tetapi pada, masa ini kehidupan umat sangat susah karena tanaman padi rusak akibat banjir. Pada tahun 1977, di gereja ini terjadi penerimaan Sakremen Krisma oleh Bapak Uskup Mgr. A. G. Pius Datubara, OFMCap.
Pada tahun 1980 P. H. Simbolon terpilih menjadi porhanger. Kegiatan gereja berjalan dengan baik seperti Doa Rosario setiap bulan Mei dan Oktober, Drama Natal, dan para Pengurus rajin mengikuti kursus-kursus. Pada tahun 1982 desa ini banjir kembali melanda daerah ini, karena jebolnya benteng sungai Asahan, sehingga padi yang sedang menguning di sawah gagal panen. Sampai tahun 1984 kehidupan umat semakin susah, mata pencaharian hanya menangkap ikan. Hasil tangkapan ini dipakai untuk membeli ubi racun yang diolah menjadi tepung gaplek. Bahkan salah satu anak dari keluarga Katolik meniggal dunia akibat makan ubi racun yang direbus. Oleh karena itu banyak orang pindah dan dengan demikian anggota gereja pun semakin berkurang.
Pada tahun 1985, terjadi periodisasi pengurus. Setelah pemilihan terjadi terjadi perpecahan, karena calon-calon porhanger dari Parsaoran tidak terpilih. Porhanger terpilih saat itu berasal dari Aek Niongkal yaitu Antonius Simbolon. Hal inilah yang menyebabkan berdirinya gereja Katolik Padang Mahondang II. Situasi ini menjadi penyebab berkurangnya umat Katolik. Anggota gereja lama tinggal 150 KK.
Selama kepemimpinan A. Simbolon keaktifan umat ke gereja semakin baik walaupun gereja sudah terbagi dua. Kegiatan PIK semakin digalakkan dalam koor, pendalaman iman yang dibina oleh suster, perlombaan koor khusus bapak-bapak se-rayon Padang Mahondang. Pada tahun 1985 gereja semi permanen direhab menjadi permanen. Pembangunan ini bermula dengan adanya bantuan dari pemerintah untuk rumah-rumah ibadat dan gereja Katolik mendapat bantuan sebesar Rp 1.200.000,00. Demi terlaksananya bangunan gereja yang permanen, bantuan ini ditambah oleh umat. Umat diwajibkan membayar 4 kaleng beras/KK atau setara dengan Rp 40.000. Pada masa itu ½ dari biaya pembangunan dibantu oleh Keuskupan,sehingga Gereja Katolik Padang Mahondang I dapat berdiri dengan bangunan permanen.
Tahun 1989 – 1992, porhanger adalah Markus Sinaga. Kegiatan gereja mengalami perkembangan, seperti doa Rosario diadakan di rumah umat yang jarang ke gereja, pembentukan kumpulan bapak-bapak atau PAK. Pada masa ini juga diadakan sambut komuni pertama untuk anak-anak kelas V SD s/d SMP. Pada masa itu sintua yang berjumlah 12 orang, mengadakan pembinaan kepada umat yang berasal dari Protestan yang ingin menjadi Katolik. Pada tanggal 29 Juni 1992 diadakan penerimaan Sakremen Krisma sekaligus pemberkatan gereja, dengan nama pelindung St. Petrus.
Sekitar tahun 1993 porhanger meninggalkan Padang Mahondang dan pindah ke Riau, karena keadaan ekonomi yang tidak mendukung. Umat pun semakin berkurang menjadi 110 KK karena banyak yang pindah ke Sidaludalu untuk menanam sawit. Kepemimpinan Markus Sinaga digantikan oleh wakilnya M. Marbun sebagai pelaksana. Pada tahun ini juga Bapak M. Marbun terpilih menjadi porhanger sampai bulan Juni 1999. Selama kepemimpinan M. Marbun kehidupan menggereja semakin digiatkan bahkan semakin berkembang seperti: pembahasan Kitab Suci yang akan dikotbahkan pada hari Minggu sesuai dengan kelender liturg, yang dilaksanakan setiap malam minggu dan mengikuti Kursus kesejahteraan keluarga. Pada masa itu jumlah umat tinggal 104 KK, karena banyak yang pindah ke tempat lain.
Pada tanggal 1 Oktober 1999 s/d tahun 2006 porhanger adalah S. Sinaga atau A. Fitri Sinaga selama tiga periode. Kegiatan gereja masih berjalan baik seperti biasa, jumlah pengurus bertambah menjadi 18 orang. Kesatuan pengurus dapat juga dibanggakan. Koordinasi dengan pihak paroki juga tergolong baik. Akan tetapi kesadaran umat dalam hal melakukan kewajiban sebagai anggota gereja masih kurang. Hal itu terbukti dari pembayaran iuran Paroki yang masih tersendat-sendat.
Periode selanjutnya (2007-2010) stasi ini dipimpin oleh Bapak Lubis. Dalam masa bakti ini, kondisi Stasi cukup mengalami pergolakan karena ada kesan bahwa umat kurang percaya kepada para pengurus tertentu terutama berkaitan dengan pengelolaan duit. Untuk mencoba menanggulangi permasalahan ini, pastor paroki bersama DPP turun untuk membuat rapat khusus, tetapi di antara pengurus tidak ada keterbukaan untuk mengungkap permasalahan. Pihak paroki sudah memprakarsai untuk pengevaluasian situasi yang ada dengan membuat sermon khusus stasi. Hal inipun tidak memberi hasil sebagaimana yang diharapkan.
Dalam kondisi sedemikian, periodisasi kepengurusan mengalami babak baru sesuai dengan harapan keuskupan. Masa bakti bukan lagi berlaku selama 3 tahun dalam satu masa bakti tetapi menjadi 5 tahun. Masa bakti pengurus 2010 – 2015 dipimpin oleh Bapak Ambarita Simbolon. Riak-riak ketidak-percayaan umat terhadap pengurus yang baru ini pun masih terasa. Bahkan antara pengurus sendiri terjadi curiga mencurigai. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi Bapak Ambarita Simbolon. Beliau berupaya untuk berlaku transfaran dalam pengelolaan keuangan sehingga borok-borok pengurus lama semakin terungkap. KDPS ini sampai meneteskan air mata di hadapan pastor paroki karena penghinaan yang dialaminya dari sesama pengurus. Akan tetapi Bapak ini bertekad tidak akan mundur selangkah pun untuk membuat yang terbaik semampunya demi kebaikan Stasi St. Petrus Padang Mahondang I ini.
Karena bapak ini juga termasuk anggota Dewan Pastoral Paroki maka dia cukup mengerti bagaimana pihak paroki bersikap terhadap stasi ini. Kebijakan-kebijakan paroki pun diterangkan dan berusaha diterapkannya dengan baik, kendati belum bisa secara langsung berterima bagi sebahagian umat yang tergolong sebagai umat yang tidak gampang dilayani.
Dari dulu sampai saat ini, kondisi stasi ini juga sangat dipengaruhi oleh keberadaan Ikatan Petani Pancasila yang ada di kawasan ini. Penanganan atas permasalahan lahan Ikatan Petani Pancasila pada saat ini sedang menghangat sampai melibatkan aparat pemerintah dan keamananan negara. Dalam hal ini para pengurus tergolong bisa diajak kerjasama oleh pihak paroki terutama Bapak Ambarita Simbolon tetap berupaya sederap dengan pihak paroki atau Caritas PSE Paroki. Semoga ke depan stasi ini terbuka terhadap tuntunan paroki dan pihak-pihak rayon sehingga pelan-pelan stasi yang memiliki jumlah umat terbesar kedua setelah stasi induk Aekkanopan di paroki St. Pius X Aekkanopan, dapat mengalami perkembangan yang signifikan. Salam.
STASI KRISTUS RAJA SUNGAIPIRING
Sejarah
Sekitar awal tahun 1970-an para perantau datang ke Sungaipiring. Sebagian mereka beragama Katolik. Saat itu para perantau (yang katolik) merasa kebingungan mencari gereja Katolik. Mereka ingin beribadat, teristimewa pada hari Minggu tetapi tidak menemukan gereja Katolik. Beberapa keluarga sempat pindah ke sekte protestan. Sebagian besar bergabung dengan umat stasi Pulau Raja.
Umat beribadat di gereja Okumene perkebunan PTPN IV Pulau Raja. Karena banyak sekte yang beribadat secara bergantian, maka setiap kali jumpa perayaan malam Natal, umat Katolik tidak dapat giliran untuk memakai gereja eukumene tersebut. Untuk merayakan Natal umat harus pergi ke gereja Paroki St Pius X Aekkanopan dengan jarak lebih kurang 20 km.
Dengan situasi yang demikian, umat ingin mendirikan tempat peribadatan mereka sendiri. Akan tetapi mereka kesulitan untuk menemukan tempat karena penduduk mayoritas non Kristen. Kendati demikian, umat tidak menyerah. Kemauan mereka untuk mempunyai tempat peribadatan tidak berhenti. Memang benar kata pepatah: “Dimana ada kemauan di situ ada jalan”. Atas keinginan kuat untuk menemukan tempat peribadatan maka umat meminjam tanah milik salah seorang umat yaitu Bapak A. Sinaga.
Pada tahun 1976 gereja Katolik Sungaipiring didirikan dengan kondisi sangat darurat. Mula-mula umat berjumlah 5 (lima) kepala keluarga (KK). Kebaktian dipimpin oleh bapak Manurung dari Stasi Pulauraja. Tetapi karena jauhnya Pulau raja ke Sungai Piring maka tidak berapa lama bapak Manurung digantikan oleh Bapak A. Sinaga menjadi porhanger. Pastor Paroki waktu itu Pastor Arie Van Diemen OFM. Cap.
Utusan umat berangkat ke paroki untuk menemui Pastor Arie van Diemen. Mereka mengutarakan niat mereka untuk mendirikan gereja yang lebih layak. Pastor paroki memberi dukungan seraya memberi beberapa pertimbangan. Kalau hendak mendirikan gereja harus ada pertapakan dan suratnya diserahkan ke Paroki, demikian nasihat Beliau. Karena umat sangat merindukan tempat peribadatan, umat berupaya terus menerus untuk mengindahkan hal-hal yang dianjurkan pastor paroki. Lalu mereka mengurus surat tanah serta menyerahkannya ke Paroki. Sementara itu umat pun tetap semakin bertambah.
Dalam periode tahun 1978-1987 vorhanger A. Sinaga digantikan oleh bapak Silalahi. Umat bertambah menjadi 15 KK dan kesungguhan umat mendirikan gereja semakin kuat. Gereja sangat darurat diubah menjadi gereja sederhana berukuran 7 x 9 m. Waktu itu, Sr Imelda br Harianja, KYM bertugas di Paroki Aekkanopan menganjurkan nama gereja “Kristus Raja“. Vorhanger Silalahi sangat antusias dalam menunaikan tugasnya demi perkembangan umat Allah. Kegigihan Beliau sungguh memberi andil yang sangat signifikan dalam perkembangan Gereja. Beliau seorang pemimpin umat yang memiliki dedikasi tinggi dan iman yang patut diteladani. Sayangnya Beliau cepat menghadap Tuhan Allah Penciptanya. Tepat pada Jumat Agung tahun 1987 sore hari Beliau meninggal. “Bapa Silalahi yang kami cintai: Beristirahatlah dalam damai Tuhan” doa kami menyertaimu dan doakan juga kami.
Pada tahun 1987 – 1990 porhanger diganti oleh bapak J. Sidabariba. Umat semakin bertambah menjadi 19 KK. Mengingat pertambahan umat yang tergolong cepat ini, maka gereja ditambah panjangnya menjadi 7 x 12 m tetapi masih tetap dengan dinding tepas. Sayang sekali, porhanger J. Sidabariba cepat pindah tempat ke Jambi. Beliau digantikan oleh bapak A. Sitorus. Bapak A. Sitorus juga tidak dapat bertugas otimal dan hanya beberapa saat karena kesibukan Beliau sebagai karyawan kebun RGM.
Pada tahun 1990 – 1993 Porhanger yang terpilih Bapak J. Sitanggang yang dilantik Pastor Yakobus, OFM. Cap. Umat yang bertambah jumlahnya menjadi 22 KK. Meliahat dinding tepas gereja yang sangat memprihatinkan ini maka tergeraklah hati Pastor Yakobus, OFM. Cap untuk mencari bantuan pembangunan. Sewaktu Belia pulang tempat asalnya Pulau Jawa Beliau mencoba mencari dana. Hasil dari usahanya sebanyak Rp. 1.000.000. Swadaya umat dan donasi dari pihak lain menjadi modal untuk menggantikan dinding gereja menjadi beton setinggi kira-kira 270 cm. Sementara itu atap masih dalam kondisi semula.
Pada tahun 1993 – 1996 sesuai dengan masa bakti periodisasinya, pengurus stasi yang baru diketuai oleh Bapak A. Kaban. Umat terus bertambah sehingga menjadi 26 KK pada waktu itu. Pada masa ini juga lampu PLN diinstalasi ke dalam gereja, sebab kegiatan gerejani cukup sering terjadi pada waktu malam di gereja.
Pada tahun 1996 – 1999 periode kepengurusan stasi kembali kepada Bapak J. Sitanggang sebagai Porhanger. Umat bertambah menjadi 28 KK. Pembangunan tersendat karena krisis moneter.
Pada tahun 1999 periode kepengurusan stasi, Bapak P. H. Sinaga terpilih menjadi Ketua Dewan Stasi. Umat mentambah menjadi 30 KK akan tetapi kondisi gereja juga makin memprihatinkan baik dari segi kekuatan fisiknya maupun dari segi daya tampungnya. Tiang kayu dan atap gereja sudah lapuk dan goyang. Kalau hujan turun dan angin bertiup saat beribadat dalam gereja, umat mengalami ketakutan tertimpa atap yang sangat rawan roboh. Selain itu, jika terik matahari terjadi pada saat beribadat dalam gereja, umat juga sangat gerah dan gelisah karena cuaca panas yang tak bersahabat.
Dengan kondisi yang sedemikian, umat semakin merasa membutuhkan gereja yang lebih laik pakai. Bapak Yusuf Masuli, seorang umat kebetulan menjadi manager PT Lonsum Gunung Melayu. Bapak ini menyemangati dan mendorong umat terus menerus untuk membangun gereja sehingga terbentuk Panitia Pembangunan Gereja pada tahun 2000. Beliau bersedia menjadi ketua pembangunan. Dan sebagai bentuk dukungan kongkritnya, Beliau menyumbangkan sebanyak 30 truk timbunan tanah. Dan semampu umat keseluruahan, dana secara serius diupayakan sehingga dapat terkumpul sekitar Rp 20.000.000 pada tahun.
Dengan dana sebesar Rp 20.000.000 ini, panitia menghadap P.Nelson Sitanggang, OFMCap selaku parokus pada saat itu. Kerjasama panitia pembangunan dan umat dan pihak paroki akhirnya pembangunan dilaksanakan pada tahun 2001 dan dirampungkan serta diberkati pada tahun 2002 dengan menghabiskan dana kurang lebih Rp 150.000.000.
Umat mengalami sukacita yang tak terungkapkan ketika megahnya bangunan berdiri siap untuk diberkati dan dipakai memuji dan memuliakan nama Tuhan. Rasa letih saat membangun berubah menjadi rasa haru dan bangga penuh persaudaraan dan suka cita. Mgr. A.G. Pius Datubara, OFMCap selaku Uskup Agung Medan pada saat itu dengan penuh semangat juga memberkatinya. Pemberkatan gereja ini menjadi lebih meriah lagi karena pada saat itu juga berkumpul umat se-rayon Asahan untuk merayakan paskah rayon.
Pada saat gereja diberkati jumlah umat sudah menjadi 30 KK. Sejak berdirinya dengan megah gereja Statsi Kristus Raja Sungai Piring ini, kebanggaan umat juga sangat terasa sebagai orang beragama Katolik. Kekompakan dan kemandirian mereka juga sangat pantas dipuji dan diteladani oleh stasi-stasi yang lain. Mereka pantas memang menjadi umat Stasi Induk Rayon Asahan. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh para pengurus gereja teristimewa Ketua Dewan Stasi Bapak P. H. Sinaga yang sekaligus menjabat sebagai Ketua Rayon Asahan pada waktu itu. Dibawah kepemimpinan Beliau umat sangat dinamis dan selalu seiring dengan pihak paroki dalam menggembangkan hidup menggereja.
Pada saat periodisasi masa bakti 2007 – 2010 tongkat estapet kepemimpinan diserahkan dari P.H. Sinaga kepada Bapak Marihot Situmorang, SPd. Dan sekaligus juga menjadi Ketua Rayon. Pada saat itu kondisi kesehatan Bapak P.H. Sinaga makin menurun karena mengidap penyakit kangker. Namun Beliau masih tetap semangat memberi hati, pemikiran dan tenaga untuk melayani umat Allah di Rayon dan di Stasi dan bahkan di Paroki. Akhirnya pada tahun 2010, Bapak P.H. Sinaga setelah begitu lama menderita oleh kangker, menghebuskan nafasnya yang terakhir. Umat se-stasi, rayon dan bahkan paroki St. Pius X Aekkanopan betul-betul merasa kehilangan. Selamat beristirahat dalam damai bersama Bapa di surga Bapak P. H. Sinaga yang kami cintai dan banggakan.
Masa bakti kepengurusan (2010 – 2015) stasi Kristus Raja Sungai Piring dan rayon Asahan selanjutnya masih dipercayakan untuk kedua kalinya kepada Bapak Marihot Situmorang, SPd. Kemampuan, kebaikan dan keteladanan Bapak ini tidak kalah dengan yang dimiliki almarhum P.H. Sinaga. Selain di stasi dan rayon Bapak Marihot Situmorang terlibat juga dalam kepengurusan DPP St. Pius X Aekkanopan, sebagai anggota Harian DPP dan juga sebagai seksi Pendidikan Katolik.
Baik umat di stasi maupun di rayon Asahan, sungguh dilayani Bapak ini dengan sebaik mungkin. Teristimewa usaha dan pemikirannya sangat berpengaruh positif dalam pengupayaan rayon yang dinamis dan sungguh hidup. Hal itu sangat nampak dalam pengupayaan kesatuan umat serayon untuk mengumpulkan dana pembangunan pusat pelayanan umat di rayon Asahan. Gerakan Rp 1000 per minggu berjalan cukup menggembirakan.
Marihot Situmorang (KDPS dan Ketua Rayon) |
Semoga umat Allah se-stasi Sungai Piring dan serayon mengalami berkat Tuhan atas segala rencana mulia ini. Dan semoga juga semua pihak semakin tergerak hatinya untuk mendukung usaha baik ini. Dan akhirnya, profisiat bagi stasi Kristus Raja Sungai Piring. Semoga berkat Kristus Sebagai Raja sungguh merajai segala gerak perkembangan umat dan seluruh keluarga se-stasi. Salam.
Sejarah
Di sebelah Utara Paroki Aekkanopan terdapat sebuah perkampungan yang dinamai Aek Nauli. Pada tahun 1968, beberapa panombang dari berbagai tempat memasuki kampung ini. Di antara para panombang tersebut terdapat 3 KK yang beragama Katolik, yakni keluarga B. A Silalahi, B. Simbolon, dan J. Sitinjak (Op. Hotlan). Ketiga keluarga tersebut mendaftarkan diri ke gereja Katolik Stasi Padang Mahondang dan untuk sementara beribadat di sana.
Bapak B. Silalahi (alm.) merupakan perintis berdirinya stasi Aek Nauli. Beliau menuturkan dalam surat wasiat peninggalannya bahwa umat di Aek Nauli kesulitan beribadat ke Padang Mahondang, karena jarak yang cukup jauh dan kondisi jalan yang tidak bagus. Oleh karena itu, ibadat dilakukan di rumahnya sendiri. Hal ini berlangsung hingga tahun 1973. Pada saat ini jumlah umat sudah bertambah menjadi 5 KK, yaitu tiga keluarga perintis yang sudah disebut di atas, ditambah keluarga S. Siregar dan S. Tampubolon. Pada tahun itu juga, kelima KK ini mendirikan gedung gereja darurat berukuran 5x7 m yang terdiri atas kayu bulat, atap ilalang, dan tanpa dinding. Tanah pertapakan gereja itu sebelumnya adalah milik bapak B. A. Silalahi. Tanah seluas 1,5 rante itu dibayar dengan harga 12 kaleng beras.
Letak geografis tanah tersebut adalah sebagai berikut:
Utara, berbatasan dengan A. Meri Sihombing (30 m)
Timur, berbatasan dengan tanah B.A. Silalahi (25 m)
Selatan, berbatasan dengan tanah Siagian (30 m)
Barat, berbatasan dengan jalan (14 m).
Adapun saksi-saksi antara lain: St. P. Siregar, St. M. Sitinjak, St. S. Tampubolon, dan St. S. Siregar. Namun, pada tahun 1974, gereja tersebut tumbang diterpa angin.
Pastor Arie van Diemen membantu mereka untuk membangun kembali gereja yang telah roboh, dengan memberikan seng, sementara bahan lainnya diusahakan sendiri oleh umat. Selama gedung gereja dibangun, umat kembali beribadat di rumah bapak B. Silalahi. Pada tahun 1978, gedung gereja berukuran 6x8 m dengan tiang persegi dan beratapkan seng selesai dibangun.
Pada tahun 1980 gedung gereja itu direhab lagi. Gedung gereja semi permanen (setengah beton, 80 cm beton) selesai direhab dengan lantai semen, tetapi dinding gereja belum sempurna hingga pembangunan terbaru pada tahun 2010. Sampai pada tahun ini jumlah umat mencapai 10 KK.
Tahun 2010 gedung gereja yang baru dibangun. Selain dana dari paroki, umat juga mengumpulkan guguan Rp. 1.100.000,00/KK yang dibayar dengan mencicil. Peletakan batu pertama diadakan pada tanggal 19 Desember 2010 oleh P. Hiasintus Sinaga, OFMCap. (Pastor paroki). Para pengurus Gereja yang baru untuk periode 2011-2015 adalah: Bapak E. Gultom (KDPS), B. Silalahi (Wakil KDPS), S. Sitinjak (Bendahara), K. Marbun, T. Br. Ambarita (Seksi Asmika), T. Br. Naibaho (Seksi PIK), M. Siagian (Seksi PAK dan bangunan). Jumlah umat saat ini sudah mencapai 14 KK. Namun, menurut penuturan Bapak E. Gultom (Porhanger/KDPS periode 2007 – 2015), jumlah itu pernah mencapai 17 KK pada awal kepemimpinannya di tahun 2007. Beberapa umat merantau (manombang) ke daerah lain, namun ada juga yang pindah ke Huria tetangga (HKBP), termasuk Bapak D. Tindaon (mantan Porhanger periode 2001-2007). Bapak D. Tindaon pindah karena ada konflik terkait laporan keuangan yang tidak jelas pada Pesta Paskah Rayon Asahan yang diselenggarakan di Aek Nauli pada tahun 2008 yang lalu. Sebelumnya juga, karena masalah keluarga, P. br. Siringo-ringo (bendahara stasi pada saat kepemimpinan Bapak D. Tindaon) pindah ke HKBP.
Umat berjumlah 14 KK dengan cacahan jiwa sekitar 72 orang. Keempat belas KK itu beserta jumlah jiwa/KK dapat disebut di sini: A. Jonatan Gultom (4 orang);A. Muti Siagian (4 orang); A. Andri Siregar (4 orang); Op. Jones Simbolon (3 orang); Op. Kamsia Hutagalung (5 orang); N. Sandi br. Siringo-ringo (3 orang); A. Tiar Marbun (7 orang)
A. Hendra Sinaga (6 orang); A. Edi Silalahi (7 orang); Op. br. Simbolon (7 orang); Op. Surung Siringo-ringo (5 orang); Op. Tumbur Sitinjak (2 orang); A. Anti Sitinjak (8 orang); A. Buha (7 orang).
Sejarah
Stasi Teluk Ampean merupakan salah satu stasi yang terkenal dengan kesatuan dan kekompakan umatnya. Hal ini menjadi contoh yang pantas ditiru oleh stasi-stasi yang lain. Mungkin atas dasar itu Rayon Kuluh memilih salah satu anggota stasi ini menjadi pengurus rayon (Sekretaris), yakni bapak Nelson Simanjuntak (A. Rida). Beliau juga terlibat di Paroki sebagai anggota DPP (Seksi Pembangunan Paroki). Semoga semangat kesatuan dan kebersamaan tetap menjiwai umat stasi St. Maria Ratu Rosario, Teluk Ampean dan mereka dapat menjadi garam dan terang di Paroki St. Pius X Aekkanopan.
Tahun 1970 gereja kecil sangat sederhana akhirnya berdiri. Dinding bangunan terbuat dari “gedek” (anyaman kayu sejenis bamboo) dan beratap ilalang. Akan tetapi umur gereja kecil ini tidak bertahan lama. Pada tahun ini juga terjadi angin puting beliung di daerah Hutabaru dan dengan sekejap mata merobohkan gereja mungil sangat sederhana itu.
Tahun 1980-an merupakan moment yang sungguh memprihatinkan dalam banyak aspek kehidupan masyarakat di Hutabaru terutama keprihatinan sosial ekonomi karena alam tidak bersahabat. Kondisi ini tentulah juga mempengaruhi secara negatif geliat hidup menggereja. Kemudian masyarakat tidak lagi hanya bertanam padi tetapi mulai perlahan-lahan menanam sawit sebagai pengganti tanaman padi. Walau sampai tahun 1986 hasil sawit masyarakat mengalami kesulitan untuk pelemparan/pemasarannya tetapi masyarakat tetap bertanam sawit sampai hasil sawit mereka diterima di pabrik-pabrik perkebunan pemerintah.
Dengan derap langkah kebersamaan panitia bersama Seksi Pembangunan paroki bekerja keras untuk membuat dan mengedarkan proposal kepada pihak-pihak yang dianggap pantas membantu terutama pihak Keuskupan Agung Medan, DSAK-KWI, pemerintah dan para donatur dalam paroki dan luar paroki. Syukur kepada Tuhan atas bimbingan dan pertolonganNya cukup banyak juga orang yang bermurah hati untuk membantu umat stasi Hutabaru dalam membangun gereja yang dimaksud. Dengan perasaan yang lega banyak pihak sangat bersyukur bahwa gereja yang tergolong menarik akhirnya rampung dan diberkati oleh yang mulia (Uskup Emeritus) Mgr. Pius Datubara, OFMCap tanggal 02 September 2012.
STASI SANTO HUBERTUS PADANG MAHONDANG II
Periode berikut berlangsung dari tahun 2010-2015. Masa bakti pada periode ini tidak lagi 3 tahun seperti sebelumnya tetapi menjadi 5 tahun sebagaimana anjuran pihak Keuskupan Agung Medan yang digembalakan oleh Mgr. Anicetus Bongsu Sinaga, OFMCap. Bapak H. Gultom masih terpilih sebagai KDPS dengan wakil S. Silaban. Sekretaris: KR. Sihombing dan Bendahara: J. Purba. Sedangkan anggota hanya 2 orang yakni R. Lumbangaol dan J. Tarigan. Pada masa ini, setiap kali kunjungan pastoral Pastor Paroki, P. Hiasintus Sinaga, OFMCap selalu membuat katekese ringan tentang pendalaman dan penghayatan ekaristi dengan menerangkan ritus ekaristi terutama bagaimana umat sungguh terlibat dalam perayaan ekaristi dan penyemarakan jalannya liturgi ekaristi.
STASI ST. ANTONIUS DARI PADUA PARDAMARAN
Enam bulan
berselang setelah para pengurus inti dipilih, umat semakin melihat bahwa rumah
A. Simbolon tidak lagi memadai dijadikan tempat peribadatan. Disamping karena
rumah itu kecil, jumlah umat pun sudah mulai bertambah. Maka atas kesepakatan
bersama mereka berencana mendirikan
gereja. Rencana itu ditindak lanjuti dengan menyampaikan permohonan pendirian
gereja kepada Kepala Desa, bapak Bangkit Rambe. Kepala Desa memberikan izin,
sekaligus menyerahkan tanah seluas 10 rante menjadi pertapakan gereja.
Pada periodisasi
tahun 1989 bapak J. Pandiangan meneruskan tongkat estafet kepemimpinan kepada
bapak S. Ginting. Pada masa itu bapak S. Ginting adalah tenaga guru Agama
Katolik (honorer) di SD Pardamaran. Masa kepemimpinannya tidak berlangsung lama
karena beberapa tahun kemudian dia diangkat sebagai PNS dan dan ditempatkan di
Pancur Batu. Akhirnya Porhanger stasi Pardamaran diteruskan oleh bapak A.
Naibaho.
Pada periodisasi
pengurus tahun 1998, tongkat estafet kepemimpinan beralih dari bapak A. Naibaho
kepada bapak M. Sinaga. Kepemimpinan bapak M. Sinaga hanya berlangsung satu
periode (3 tahun). Pada periodisasi tahun 2001 jabatan Porhanger kembali
dipangku bapak A. Naibaho. Pada tahun 2002 Rayon Asahan mengadakan Pesta Paska
Rayon di stasi Pardamaran. Pada saat pesta Pastor Paroki, P. Nelson Sitanggang,
OFMCap., memberkati Gereja Katolik Pardamaran. Pada saat itulah ditetapkan
bahwa Santo Pelindung Gereja Katolik Pardamaran adalah St. Antonius Padua. Pada saat itu juga diadakan
pengumpulan dana, yang diperuntukkan mambangun pagar gereja dan toilet. Setelah dana terkumpul,
maka pada akhir tahun 2003 hingga awal tahun 2004 diadakan pembangunan pagar
dan toilet, dan proses pembangunan
berjalan dengan baik. Masa kepemimpinan bapak A. Naibaho dapat disebut sebagi
masa-masa kejayaan stasi St. Antonius Pardamaran, terutama dalam keaktifan dan
semangat menggereja umat.
Pada
tahun 2005 stasi Pardamaran kembali mengadakan periodisasi pengurus dan
terpilihlah bapak D. Naibaho sebagai Porhanger. Pada masa kepemimpinan beliau,
bangunan gereja kembali mengadakan perehaban, yakni dengan membuat keramik di
bagian dalam gereja. Selama periode kepemimpinna bapak D. Naibaho, stasi Pardamaran
mencapai beberapa prestasi. Pada tahun 2006 ASMIKA meraih Juara Umum dalam Pesta ASMIKA se-Rayon
Asahan. Selanjutnya PIK memperoleh Juara I Festival Koor Grup B, pada Festival
PIK se-Paroki tahun 2008.
STASI SANTO AGUSTINUS LALANG BUNDAR
Pada
tanggal 10 Juli 1996 peletakan batu pertama dilaksanakan oleh P. Simon Sinaga, OFMCap
dan dibantu Suster Yosephine br. Purba, KYM. Gereja inilah yang dipakai umat
sampai sekarang. Itu berarti umur gereja yang sekarang sudah mencapai kurang
lebih 18 tahun. Selain kondisinya yang tidak laik pakai, gereja yang sekarang
sudah terancam roboh karena badan gereja sudah keropos dan atap sudah sangat
rapuh.
Kondisi
yang sangat memprihatinkan ini membutuhkan penanganan yang serius. Hal itu
cukup sering diungkapkan oleh Bapak Bitner Silalahi sebagai KDPS kepada pihak
paroki. Maka dalam perjalanan waktu atas dukungan penuh dari pihak paroki,
Bapak Bitner Silalahi secara serius dan resmi mengetengahkan keprihatinan ini dalam
sermon rayon Asahan pada tanggal 07
Februari 2014 di Sei Piring dengan harapan agar memperoleh dukungan dan bantuan
dari umat se-rayon Asahan.
Pihak DPP sangat bangga dengan
rasa persaudaraan yang penuh kasih dalam diri seluruh pengurus gereja se-rayon
Asahan. Hal itulah sungguh merupakan perwujudan dari Visi-Misi Paroki St. Pius
X Aek Kanopan. Secara menggembirakan, hasil
penggalangan dana mencapai Rp 90.581.000. Akan tetapi karena harus
dikurangi dengan biaya penyelenggaran pesta Rp 26.600.000, maka jumlah bersih
pendapatan pesta sebanyak Rp 63.921.000.
Pada kesempatan penyatuan ini yang
hadir adalah, semua umat dari dua stasi yang bersangkutan, utusan KDPS se-rayon
Asahan, Dewan Pastoral Rayon Asahan, Seksi Pembangunan Paroki, DPP dan Pastor
Paroki. Sebelum berkat penutup perayaan ekaristi penyatuan kedua stasi ini berita
acara dibacakan oleh Sekretaris DPP Bapak Bernard Budin Sinaga. Pihak-pihak
yang menandatangani Berita Acara ini adalah: KDPS Bandar Pulo: Sukarman; KDPS
Marjanji Aceh : Bitner Silalahi masing masing sebagai pihak pertama dan pihak
kedua. Pastor Paroki : RP. Hiasintus Sinaga, OFMCap sebagai yang mengukuhkan.
Pelaksana I DPP : Mangampe Tua Manalu dan Ketua Rayon Asahan: Marihot
Situmorang keduanya sebagai pihak yang mengetahui. Kemudian 2 umat dari Bandar
Pulo dan 2 umat dari Marjanji Aceh sebagai saksi-saksi.
Setelah makan bersama pembubaran
panitia pesta Paska dan Penggalangan dana dilaksanakan dan menyusul kemudian
penbentukan panitia pembangunan gereja dengan modal awal hasil pesta paskah tanggal
27 April 2014 sebagaimana disebut di atas.
Penduduk perkampungan yang baru terdiri dari berbagai
sekte-sekte protestan dan Katolik. Beberapa orang penatua penduduk mencoba bermusyawarah untuk mengadakan perkumpulan ekumene dan sekaligus merancang
pendirian gereja. Dari tahun 1978-1980 perkumpulan ekumenis ini
berjalan dengan lancar. Dalam perjalanan waktu, setiap sekte merasa sudah saatnya untuk berdikari dan mengurus
kelompoknya sendiri.
STASI KUALA TANI
STASI SANTO ROBERTUS AEKNAULI
Sejarah
Di sebelah Utara Paroki Aekkanopan terdapat sebuah perkampungan yang dinamai Aek Nauli. Pada tahun 1968, beberapa panombang dari berbagai tempat memasuki kampung ini. Di antara para panombang tersebut terdapat 3 KK yang beragama Katolik, yakni keluarga B. A Silalahi, B. Simbolon, dan J. Sitinjak (Op. Hotlan). Ketiga keluarga tersebut mendaftarkan diri ke gereja Katolik Stasi Padang Mahondang dan untuk sementara beribadat di sana.
Bapak B. Silalahi (alm.) merupakan perintis berdirinya stasi Aek Nauli. Beliau menuturkan dalam surat wasiat peninggalannya bahwa umat di Aek Nauli kesulitan beribadat ke Padang Mahondang, karena jarak yang cukup jauh dan kondisi jalan yang tidak bagus. Oleh karena itu, ibadat dilakukan di rumahnya sendiri. Hal ini berlangsung hingga tahun 1973. Pada saat ini jumlah umat sudah bertambah menjadi 5 KK, yaitu tiga keluarga perintis yang sudah disebut di atas, ditambah keluarga S. Siregar dan S. Tampubolon. Pada tahun itu juga, kelima KK ini mendirikan gedung gereja darurat berukuran 5x7 m yang terdiri atas kayu bulat, atap ilalang, dan tanpa dinding. Tanah pertapakan gereja itu sebelumnya adalah milik bapak B. A. Silalahi. Tanah seluas 1,5 rante itu dibayar dengan harga 12 kaleng beras.
Letak geografis tanah tersebut adalah sebagai berikut:
Utara, berbatasan dengan A. Meri Sihombing (30 m)
Timur, berbatasan dengan tanah B.A. Silalahi (25 m)
Selatan, berbatasan dengan tanah Siagian (30 m)
Barat, berbatasan dengan jalan (14 m).
Adapun saksi-saksi antara lain: St. P. Siregar, St. M. Sitinjak, St. S. Tampubolon, dan St. S. Siregar. Namun, pada tahun 1974, gereja tersebut tumbang diterpa angin.
Pastor Arie van Diemen membantu mereka untuk membangun kembali gereja yang telah roboh, dengan memberikan seng, sementara bahan lainnya diusahakan sendiri oleh umat. Selama gedung gereja dibangun, umat kembali beribadat di rumah bapak B. Silalahi. Pada tahun 1978, gedung gereja berukuran 6x8 m dengan tiang persegi dan beratapkan seng selesai dibangun.
Pada tahun 1980 gedung gereja itu direhab lagi. Gedung gereja semi permanen (setengah beton, 80 cm beton) selesai direhab dengan lantai semen, tetapi dinding gereja belum sempurna hingga pembangunan terbaru pada tahun 2010. Sampai pada tahun ini jumlah umat mencapai 10 KK.
Pak E. Gultom (KDPS) |
Umat berjumlah 14 KK dengan cacahan jiwa sekitar 72 orang. Keempat belas KK itu beserta jumlah jiwa/KK dapat disebut di sini: A. Jonatan Gultom (4 orang);A. Muti Siagian (4 orang); A. Andri Siregar (4 orang); Op. Jones Simbolon (3 orang); Op. Kamsia Hutagalung (5 orang); N. Sandi br. Siringo-ringo (3 orang); A. Tiar Marbun (7 orang)
A. Hendra Sinaga (6 orang); A. Edi Silalahi (7 orang); Op. br. Simbolon (7 orang); Op. Surung Siringo-ringo (5 orang); Op. Tumbur Sitinjak (2 orang); A. Anti Sitinjak (8 orang); A. Buha (7 orang).
STASI ST. YOSEF SINARTOBA
Sejarah
Stasi Sinar Toba berdiri pada tahun 1966. Umat perdana stasi pada waktu itu berjumlah 4 kepala keluarga (KK). Sebelum gereja berdiri, umat beribadat di rumah Bapak J. Togatorop. Seorang anak muda bernama Martinus Eliakim Rajagukguk menjadi Pengurus Gereja yang pertama.
Setahun kemudian (1967), umat bertambah menjadi 8 KK. Mereka mulai memikirkan pembangunan gedung gereja. Melalui proses pembicaraan dari waktu ke waktu (yang relatif cukup singkat) akhirnya umat sepakat untuk membeli sebidang tanah pertapakan gereja seluas 14,5 x 80m.
Pada tanggal 16 Agustus 1967 gereja darurat berdiri dengan ukuran 5 x 6 m. Atap terbuat dari lalang dengan dinding “gedek”, sementara tiang penyokong bangunan dari kayu bulat yang sederhana. Lantai tanah menjadi tempat untuk menancapkan bangku yang terbuat dari kayu.
Pada tahun 1969, gedung gereja yang sederhana ini roboh, karena tiupan angin kencang. Tak berselang lama sejak terjadinya peristiwa itu, umat bahu-membahu untuk mendirikan gedung baru untuk dipakai sementara waktu. Didorong oleh kondisi gereja sederhana yang semakin memprihatinkan itu, maka beberapa bulan kemudian, umat membangun gedung gereja yang lebih layak pakai. Ukuran gereja itu adalah 5 x 7m, beratap seng, dinding papan kasar, tetapi masih berlantaikan tanah.
Dalam perjalanan waktu, jumlah umat bertambah secara perlahan, sehingga pada tahun 1969 jumlah mereka mencapai 18 kk. Ketua Dewan Stasi atau porhanger pada masa itu ialah bapak M. E. Rajagukguk. Beliau dibantu oleh 4 orang sintua yakni, J.Siagian, P.Nadeak, A. B. Manurung dan A. Roma Siregar.
Dalam kurun waktu antara tahun 1970 - 1974 perkembangan umat terasa sangat menggembirakan. Pada pertengahan tahun 1974 jumlah umat mencapai 34 kk. Akan tetapi, kegembiraan ini tidak berlangsung lama, karena pada akhir tahun 1974 banyak umat yang pindah untuk “manombang” ke Landong dan Kuala Bangka, sehingga jumlah umat tinggal 25 kk.
Enam tahun kemudian tepatnya bulan November 1980 Bapak Martinus Eliakim Rajagukguk (KDS) meninggal dunia. Hal itu mempengaruhi kinerja para pengurus yang lain. Beliau digantikan oleh Bapak J. Situmorang.
Pada tahun 1982, berkat usaha dari Pastor Hubertus Tamba, OFMCap. (Pastor Paroki) bersama pastor P. Ignatius Simbolon, OFMCap., gereja Katolik Stasi Sinar Toba memperoleh bantuan dari Bimas Katolik Propinsi Sumatera Utara sebesar Rp 1.250.000. Maka, pada tahun 1983 gereja semi-permanen dibangun, dengan ukuran 5x8 m. Dinding gereja bagian depan sudah terbuat dari beton, sementara bagian belakang masih terbuat dari papan. Menara sederhana juga dibangun. Pada saat pembangunan ini, jumlah umat ada 23 kk. Gereja Stasi Sinar Toba memilih St. Yosef sebagai pelindung. Sebagaimana dihimbau pihak paroki, supaya setiap stasi membuat perayaan Pesta Pelindung, stasi Sinar Toba berencana untuk merayakannya secara rutin.
Maju mundurnya stasi ini ditentukan oleh tanggung jawab dan pelayanan para pengurus awam di stasi. Maka seraya mengenang dan menghormati mereka pantaslah nama mereka disebutkan dalam sejarah perjalanan stasi ini. Dari periode atau masa bakti yang satu ke masa bakti berikut kami coba paparkan sebagai berikut:
Tahun 1966-1980: Porhanger, Martinus Eliakim Rajagukguk dibantu oleh para sintua J. Siagian, A. B. Manurung, R. Manik, P. Nadek, J. Situmorang, A. Roma Siregar. Tahun 1980-1996: Porhanger, J. Situmorang dibantu oleh para sintua D. Sitinjak (wakil), C. Nainggolan (Sekretaris I), Ibu br. Siahaan (Sekretaris II), R. Manik (Bendahara), A. B Manurung (Ketua Seksi Bangunan), J. Siagian, J. Naibaho, M. Ambarita, R. Sigiro. Tahun 1996-2002: Porhanger, D. Sitinjak dibantu oleh para sintua M. Ambarita (Wakil), J. Situmorang (Bendahara), M. Manik, S. Sihotang, H. Sinaga, P. Hutapea (masing-masing sebagai anggota). Periode 2003 – 2006 dipimpin oleh M. Ambarita dan dibantu oleh anggota: D. Sitinjak, H. Sinaga, A. Siagian dan N. Br. Tanggang. Masa bakti 2007- 2010 kembali lagi dipimpin oleh D. Sitinjak dengan anggota F. Br. Nadeak, A. Siagian, S. Br. Hotang, H. Br. Sinaga, M. Ambarita, N. Br. Tanggang, N. Br. Rajagukguk, B. Hasibuan Masa bakti 2010-2015 : Ketua Dewan Pastoral Stasi ialah D. Sitinjak dan dibantu oleh para pengurus lain yakni: F. Br. Nadeak, A. Siagian, S. Br. Hotang, H. Br. Sinaga, M. Ambarita, N. Br. Tanggang, N. Br. Rajagukguk, B. Hasibuan dan W. Silalahi.
Jarak stasi ini dengan paroki tergolong dekat. Dalam waktu 20 menit dari pusat paroki, stasi ini sudah dapat dijangkau. Akan tetapi sering stasi ini “terlangkahi” karena fokus perhatian tim pastoral dan DPP cenderung mengunjungi stasi yang jauh. Akibatnya, dalam banyak hal stasi ini tertinggal dari stasi-stasi yang lain. Untuk mengejar ketertinggalan ini, tim pastoral mencoba memberi perhatian yang lebih dengan membuat sermon-sermon khusus hanya untuk stasi ini terutama para pengurus yang sekarang. Semoga doa St. Yosef menyertai perkembangan stasi ini untuk semakin baik. Salam.
Pada awalnya, kedua keluarga ini harus pergi ke Tangkahan Silalahi untuk mengikuti ibadat hari Minggu atau misa saat imam datang. Setiap kali beribadat ke Tangkahan Silalahi, mereka harus memakai alat transportasi sampan menyusuri Sungai Aekkuo dengan jarak tempuh lebih dari satu jam.
Niat mereka untuk membangun gereja Katolik ini diinformasikan kepada saudara-saudari seiman di Tangkahan Silalahi. Walau merasa berat, umat di Tangkahan Silalahi merelakan dan mendukung niat ini sambil memberi nasihat agar semangat mereka tidak pudar. Mereka mengatakan “Unang sada so sada, dua so dua, sada pe so saut, gabe sude angka lua”. Sebab memang gereja di Tangkahan Silalahi juga masih butuh dukungan umat yang lebih banyak.
STASI ST. YOHANES PEMBAPTIS TANGKAHAN MANGGIS
Pada tahun 1976, arus perantau dari Tapanuli khususnya Samosir dan daerah Humbang Hasundutan cukup deras mengalir ke daerah Kualuh. Kedatangan mereka ke daerah Kualuh adalah untuk mengadu nasib, karena daerah Kualuh masih tergolong subur dan masih banyak lahan tak bertuan.
Para perantau yang datang dari “Bonapasogit” ke Tangkahan Manggis, umumnya sudah menganut agama Kristen terutama HKBP. Sedangkan agama Kristen lainnya seperti GKPI sebagai mayoritas kedua. Sekte-sekte protestan lainnya juga ada pada awalnya, yakni Pentakosta dan Advent. Bagaimana dengan Katolik? Orang-orang Katolik hanya dua keluarga, yakni Keluarga Pak Melody Sitinjak dan Keluarga Pak Berliana Sinaga. Mereka adalah kelompok yang paling kecil.
Menuju Stasi Tangkahan Manggis |
Gereja Lama |
Pada tahun 1983 umat Katolik yang tinggal di Tangkahan Manggis bertambah dua KK, yaitu Keluarga Pak Horas Banjarnahor dan keluarga Pak Eriska Nainggolan. Pertambahan ini tentu menambah semangat baru bagi umat. Ketika periodisasi pengurus di Tangkahan Silalahi, Pak Melody Sitinjak terpilih menjadi pengurus gereja (sintua). Dua tahun kemudian, yakni pada tahun 1985, keluarga katolik bertambah lagi sebanyak tiga KK, yakni keluarga Pak A. Nadeak, Pak Virman Nababan dan Pak Sampe Malau. Pada hari Minggu mereka berjalan kaki menerobos jalan setapak yang masih rawa menuju tepi sungai untuk selanjutnya naik sampan menuju Tangkahan Silalahi. Pada kesempatan inilah mereka menceritakan rencana-rencana ke depan, bagaimana mereka bisa membentuk stasi dan memikirkan pendirian gereja ala kadarnya.
Suatu ketika, saat menuju Tangkahan Silalahi untuk mengikuti ibadat, di tengah perjalanan sampan mereka karam. Baju mereka basah kuyup, buku ende juga terendam dan terpaksa mereka pulang ke Tangkahan Manggis dari tengah perjalanan. Peristiwa ini sangat berkesan bagi mereka, dan selalu mereka ceritakan kepada pastor atau suster yang berkunjung ke sana. Peristiwa karamnya sampan ini rupanya cukup membuat para ibu-ibu trauma sehingga sejak peristiwa itu kaum hawa hampir tidak pernah lagi ikut beribadat ke Tangkahan Silalahi. Kejadian yang sangat berkesan ini menjadi pemantik semangat mereka untuk semakin serius ke arah pembangunan gereja mereka sendiri di Tangkahan Manggis.
Niat mereka untuk membangun gereja Katolik ini diinformasikan kepada saudara-saudari seiman di Tangkahan Silalahi. Walau merasa berat, umat di Tangkahan Silalahi merelakan dan mendukung niat ini sambil memberi nasihat agar semangat mereka tidak pudar. Mereka mengatakan “Unang sada so sada, dua so dua, sada pe so saut, gabe sude angka lua”. Sebab memang gereja di Tangkahan Silalahi juga masih butuh dukungan umat yang lebih banyak.
Akan tetapi umat Tangkahan Manggis sudah bulat dengan keputusan mereka. Maka, pada tanggal 10 Februari 1988, umat Katolik Tangkahan Manggis mengadakan rapat perdana dan sampai pada keputusan untuk membangun gereja. Kekompakan mereka sangat terpuji dan semua bersemangat untuk membangun gereja baru. Pada tanggal 27 Maret 1988 mereka kembali mengadakan rapat untuk semakin memadukan hati, tenaga dan pikiran demi perwujudan tekad bulat mereka dalam membangun gereja baru.
Dalam rapat yang kedua ini (di rumah Pak Virman Nababan), karena alasan ekonomi tiga dari tujuh KK memilih untuk tinggal di Tangkahan Silalahi. Ketiga Kepala Keluarga itu adalah Keluarga Pak Berliana Sinaga, Keluarga Pak Horas Banjarnahor dan Keluarga Pak Sampe Malau. Akan tetapi, dalam rapat yang sama sebanyak sembilan kepala keluarga sebagai pendatang baru ikut serta memberikan dukungan. Kesembilan KK tersebut ialah: Kel. Pak Lupok Silalahi, Kel. Pak Rista Batuara, Kel. Pak Butet Habeahan, Kel. Pak Canro Harianja, Kel. Op. Valto Malau, Kel. Op. Rama Nadeak, Kel. Pak Ronald Sinaga, Kel. Pak Rista Gultom dan Kel. Op. Hertua Tindaon. Keputusan rapat ini ada dua, yakni: Pengangkatan panitia inti pembangunan (Op. Valto Malau (Ketua), Op. Rama Nadeak (Wakil), Pak Lupok Silalahi (Sekretaris), Pak Virman Nababan (Penasehat)) dan Menyepakati besarnya iuran, yakni Rp 30.000/KK sebagai modal awal untuk membeli pertapakan gereja.
Pada tanggal 9 April 1988 diadakan rapat ketiga di rumah Pak Melody Sitinjak. Semua umat hadir dan hasil rapat adalah: (1) Pengumpulan kayu bahan bangunan yang sudah selesai di-chain saw; (2) Pada saat kunjungan pastor, hendaknya ditetapkan bahwa umat katolik yang tinggal di Tangkahan Manggis resmi menjadi salah satu stasi di Paroki Santo Pius X-Aekkanopan ; (3) Menunjuk dua orang untuk mengikuti sermon ke sungai Apung.
Pada tanggal 18-19 Mei 1988 sermon di Sungai Apung diikuti oleh Pak Melodi Sitinjak dan Pak Anggiat Nadeak. Topik sermon adalah “Gereja Mandiri”, dipimpin oleh Pastor Simon Sinaga, OFMCap. dan Suster Theodora Situmorang, KYM. Atas anjuran Sr. Theodora Situmorang, KYM, selesai sermon, kedua bapak di atas ikut bersama pastor ke Aekkanopan untuk lebih serius membulatkan tekad mereka dalam membangun gereja dan stasi baru di Tangkahan Manggis.
Dalam perjalanan menuju Aekkanopan, mereka diguyur hujan di daerah Pancasila. Hujan reda pukul 16.00 WIB dan kembali melanjutkan perjalanan menuju Aekkanopan. Di Teluk Binje mereka tiba pukul 18.00 WIB. Sekitar pukul 21.00 WIB mereka mengadakan pertemuan dengan pastor Simon Sinaga, OFMCap dan Pastor Yakobus OFMCap. Pastor Yakobus kurang setuju dengan rencana tersebut. Sedangkan Pastor Simon belum bisa memberikan keputusan malam itu dan besok pagi baru akan dijawabnya. Pada tgl 20 Mei 1988 pukul 08.00 WIB, Pastor Simon, OFMCap. memberi jawaban bahwa pada tanggal 25 Mei 1988 kepastian akan ditetapkan saat kunjungan Pastor Yakobus OFMCap di Tangkahan Silalahi.
Gereja Baru |
Bersama dengan ketua Rayon Kualuh, Gr. Simbolon, pada tanggal 24 Mei 1988, P. Yakobus, OFMCap datang berkunjung ke Tangkahan Silalahi. Utusan dari Tangkahan Manggis datang juga ke Tangkahan Silalahi yakni Pak Melodi, Pak Anggiat dan Op. Valto. Mereka berterima kasih atas kebersamaan selama ini dengan umat di Tangkahan Silalahi seraya minta pamit untuk selanjutnya hendak beribadat di Tangkahan Manggis. Pastor Yakobus, OFMCap memberi jawaban yang sesuai dengan harapan umat Tangkahan Manggis dan memberi ijin “manjae”. Pastor tersebut memberi penegasan bahwa kesatuan gereja Katolik di mana pun harus dinomorsatukan sebab itulah ciri dan kekuatan kita dalam Tuhan.
Pada kesempatan ini juga pastor memberi kata-kata peneguhan dengan mengatakan umpasa: “Asa tampulak ni sibaganding ma di dolok ni pangiringan; Horas ma hamu na marhaha-maranggi; Huria Katolik Tangkahan Manggis Tangkahan Silalahi; Jala marsipairing-iringan” Kemudian beliau menambahkan lagi: “Bintang sidongdong ma i di dolok golgata; Horas ma huria Katolik digomgom Amanta Debata”
Pada tanggal 25 Mei 1988, dalam Perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh pastor Yakobus, OFMCap. dengan resmi dinyatakan pemekaran gereja Tangkahan Silalahi ke Tangkahan Manggis. Setelah Perayaan Ekaristi, acara ramah tamah dilanjutkan untuk mengatakan selamat jalan dan selamat tinggal.
Empat hari kemudian, yakni tanggal 29 Mei 1988, umat Katolik Tangkahan Manggis mengadakan ibadat perdana di rumah Pak Melody Sitinjak. Tanggal 5 Juni 1988 selesai ibadat hari Minggu, umat mengadakan rapat (ke-4) sambil memilih pengurus gereja. Pak Melody Sitinjak (Vorhanger); H. Nadeak (Wakil); N. Esrika Br Pakpahan (bendahara); H. Nadeak (Sekretaris); M. Gultom (Sintua); P. Tindaon (Sintua). Pertapakan gereja disumbangkan oleh keluarga Pak Melody Sitinjak dengan ukuran 20x10 m. Pada rapat ini juga diputuskan untuk mengadakan gotong-royong penimbunan pertapakan dan kerja lainya.
Pada tanggal 25 Agustus 1988, Pastor Yakobus, OFMCap datang “marhuria” ke Tangkahan Manggis sekalian meninjau kerja umat. Umat menyambut pastor dengan gembira. Pada saat itu juga diadakan permandian dan peresmian. Enam orang yang dipermandikan adalah Sangkot Rinto Tua Sampe Parlumbanan Gultom; Lando Damsen Hobi Mardongan Gultom; Canro Harianja; Minton Parhusip; Sondang Marison Sitindaon; Agustina Nadeak .
Pada tanggal 23 Januari 1989, gereja Katolik Tangkahan Manggis selesai dibangun apa adanya dengan beratapkan nipa. Bangku gereja pun belum ada sehingga umat harus duduk di lantai papan. Semangat kegotong-royongan umat sungguh dapat dipuji. Kendati gereja belum rampung, semangat kesatuan dan kerajinan umat beribadat pantas dipuji. Dengan kondisi gereja demikian, umat merasa bangga dan damai dalam hati untuk memuji Tuhan. Kebiasaan Katolik untuk Doa Rosario sejak dini mereka terapkan. Secara bergiliran mereka menjadi tuan rumah untuk doa Rosario.
Suatu kali, bahan-bahan bangunan yang diperuntukkan dalam merampungkan pembangunan, hilang. Dalam perjalanan waktu, sang pencuri tertangkap dan hal ini menimbulkan gejolak di dusun Tangkahan Manggis. Sempat terjadi ancam-mengancam untuk membunuh, tetapi kemudian persoalan dapat diselesaikan dengan baik.
Semangat untuk mengembangkan umat tetap juga terbangun dalam diri para pengurus yang terpilih. Tanggal 23-29 April 1989, pengurus gereja Tangkahan Manggis mengikuti Kursus KATEKESE di Tangkahan Habeahan. Melihat semangat umat dan para pengurus ini, P. Yakobus, OFMCap membantu dengan meminjamkan uang untuk membeli seng dan papan untuk merampungkan pembangunan gereja. Hal ini menambah semangat para pengurus dan kebanggan umat.
Tanggal 25 November 1989, diadakan pemberkatan gereja, sekaligus melantik pengurus dan saat itu juga diadakan pembaptisan untuk beberapa umat. Suasana akrab dan sukacita sangat terasa pada pesta ini, terlebih karena semua umat makan bersama dengan pastor di gereja yang baru. Nama-nama pengurus yang dilantik oleh P. Yakobus, OFMCap adalah Pak Melodi Sitinjak (Vorhanger), Pak Anggiat Nadeak (Wakil), Sintua: Pak Risma Gultom, Pak Marlina Sitindaon, Sekretaris: Pak Anggiat Nadeak, Bendahara: Ibu Esrika br. Pakpahan; Pengurus Jasmani: Op. Valto Malau, Op. Rama Nadeak, Pak Risma Gultom, dan Pak Virman Nababan.
Sejak dini semangat kemandirian sudah mulai bertumbuh dalam diri umat. Untuk memikirkan perkembangan gereja ke depan, umat sudah bergerak untuk mengadakan pengolahan lahan 0.5 ha sebagai ladang penanaman padi. Lahan yang digunakan adalah milik Pak Virman Nababan. Pada musim panen tahun 1991, umat menghasilkan sebanyak 500 kg padi. Hasil panen tersebut dipinjamkan kepada umat secara bergilir dengan bunga pinjaman yang berlaku di kampung sekitar.
Semangat kemandirian di atas berjalan cukup baik beberapa tahun. Dari hasil kerja sama dan kemandirian ini mereka pelan-pelan mengumpulkan uang untuk rencana pembelian lonceng (50 kg) dan pembangunan menara gereja.
Pada tanggal 12 Juni 1993, periodisasi pengurus dan pelantikan diselenggarakan. Badan kepengurusan terdiri dari: Pak Melody Sitinjak (Ketua Dewan Stasi), Pak Herman Sitinjak (Wakil), Ibu Elias br Gultom (Bendahara), Pak Marlina Tindaon (Sekretaris), dan guru ASMIKA ialah Pak Risma Gultom.
Berkat pendampingan dan penyemangatan dari P. Cristof Sitompul, OFMCap., maka pada tanggal 27 Januari 1994 untuk pertama kali lonceng gereja Katolik bergaung nyaring. Hal ini sungguh memberikan kebanggaan tersendiri bagi umat di Tangkahan Manggis.
Pada tanggal 15 Oktober 1996 periodisasi masa bakti pengurus berikutnya diselenggarakan sekaligus pelantikannya. Mereka yang dipilih dan dilantik ialah: Pak Hermian Simbolon (Ketua Dewan Stasi), Pak Lamria Sitinjak (Wakil Ketua), Pak Lupok Silalahi (Sekretaris), Ibu Elias Br. Gultom (Bendahara), Pengurus Lingkungan: Pak Santo Gultom dan Pak Rotua Rumapea; Anggota: Pak Virman Nababan, Penasihat/Pembina: Pak Melody Sitinjak. Sejak tahun 1996 -2002, jumlah umat terdiri dari 28 KK. (Cerita proses pembangunan gereja baru masih dalam pengeditan)
STASI ST. MATIAS SIMPANG EMPAT
Pada tahun 1970 desa Kuala Beringin mulai dibuka dan dijadikan perkampungan oleh para panombang. Di antara para panombang ini terdapat beberapa keluarga Katolik sepertti: Op. Mariani Sitorus, Bapak Manurung bersaudara (abang-adik), A. Derman Sinaga, dan bapak E. Tampubolon. Mereka saling bertemu dan berkenalan di ladang yang baru mereka buka. Pada awalnya mereka masih tinggal di pondok-pondok kecil di tengah ladang. Dalam pertemuan dan pembicaraan mereka terbersitlah keinginan untuk mengadakan perkumpulan doa. Mereka berencana untuk mengadakan doa bersama di pondok-pondok agar kehidupan rohani mereka tetap terpelihara dengan baik. Akhirnya perkumpulan doa itu pun mulai berjalan secara bergiliran dari pondok ke pondok.
Setelah dua tahun berjalan (1970-1972), mereka kemudian memikirkan untuk membentuk suatu perkampungan. Mereka sepakat untuk membeli pertapakan rumah di Sikopi-kopi dan membangun rumah masing-masing berdekatan dengan yang lain. Akhirnya peribadatan juga berpindah dari pondok-pondok ke rumah bapak E. Tampu Bolon. Peribadatan itu dipimpin oleh Op. Mariani Sitorus. Pada saat itu umat Katolik yang ada di Simpang Empat berjumlah 5 KK.
Pada tahun 1974 jumlah umat Katolik bertambah menjadi 7 KK. Mereka mulai berpikir untuk membangun gereja. Akan tetapi karena pertapakan belum ada dan dana juga tidak mencukupi, maka niat tersebut tidak bisa direalisasikan dalam waktu dekat. Keinginan untuk membangun gereja mendapat titik terang pada tahun 1976. Bapak L. Napitupulu, seorang umat Katolik di stasi Tapian Nauli, memiliki tanah di sekitar Sikopi-kopi. Beliau bersedia membantu umat Katolik di Simpang Empat dengan menyumbangkan tanah seluas 1 rante menjadi pertapakan gereja. Pada saat itu kepemimpinan di stasi Simpang Empat dipegang oleh bapak A. Derman Sinaga. Dengan kepemimpinannya, A. Derman menggerakkan seluruh umat untuk bahu-membahu membangun gereja sederhana. Maka berdirilah gereja sederhana, berdinding papan (sayungan) dan masih beralaskan tanah. Namun demikian umat merasa bangga, karena mereka sudah bisa beribadat di gereja, yang merupakan hasil kerja keras mereka sendiri.
Kepemimpinan A. Derman di Simpang Empat tidak berlangsung lama. Demi meningkatkan taraf hidup dan mencari tantangan baru, beliau pindah ke Sidalu-dalu. Posisinya sebagai Ketua di Stasi Simpang Empat dilanjutkan oleh bapak E. Tampubolon. Bapak E. Tampubolon akhirya diangkat secara resmi menjadi Porhanger periode 1979-1984, pada periodisasi pengurus tahun 1979. Pada masa itu Umat Katolik di Stasi Simpang Empat berkembang cukup pesat. Pada masa kepemimpinan bapak E. Tampubolon jumlah umat sudah mencapai 18 KK. Dengan jumlah sebanyak ini, gedung gereja darurat yang baru dibangun tidak mampu lagi menampung seluruh umat. Oleh karena itu seluruh umat sepakat untuk merehab gereja, sehingga lebih layak pakai dan layak tampung. Para Pengurus Gereja menggerakkan umat untuk memberi sumbangan sedaya mampu mereka agar perehaban gereja tersebut dapat terlaksana. Mereka tidak berani membuat patokan iuran per-KK, karena pendapatan umat masih cukup rendah. Uang yang terkumpul dari hasil sumbangan sukarela ini sebesar Rp. 3.000.000,oo. Bapak E. Tampubolon (Porhanger) melaporkan usaha mereka kepada Pastor Paroki.
Pada periodisasi tahun 1984, tongkat estafet kepemimpinan beralih dari bapak E. Tampubolon kepada A. Bona Lubis, untuk masa jabatan selama 5 tahun (1984-1989). Atas kesepakatan umat, pertapakan gereja ditambah dengan membeli tanah bapak L. Napitupulu seluas 1 rante. Pada masa kepemimpin A. Bona Lubis periode berikutnya (1989-1994) gedung gereja diperbesar, meskipun gereja tersebut masih tetap sederhana.
Pada periodisasi tahun 1994 tampuk kepemimpinan stasi Simpang Empat dipegang oleh bapak S. Tampubolon (A. Mangiring). Pada masa kepemimpinannya banyak umat yang pindah (manombang) ke daerah lain untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Akan tetapi arus perpindahan sebanding dengan jumlah umat yang bertambah, sehingga jumlah umat di stasi Simpang Empat tetap berjumlah 18 KK.
Masa kepemimpinan bapak S. Tampubolon berlangsung selama 2 periode, yakni 1994-1999 dan 1999-2001. Pada periodisasi tahun 2001, beliau digantikan oleh bapak R. Panjaitan. Sebenarnya bapak ini baru 3 tahun menjadi anggota di Stasi Simpang Empat, karena beliau baru pindah dari Stasi Kampung Baru tahun 1999. Akan tetapi karena beliau cukup aktif di gereja, maka umat sepakat untuk memilihnya menjadi KDPS. Beliau masih tetap menjalankan tugas kepemimpinannya hingga saat ini. Pada saat ini umat Katolik di Stasi St. Matias, Kampung Baru berjumlah 20 KK.
STASI ST. MARIA RATU ROSARI, TELUK AMPEAN
Pada tahun 1973 panombang dari daerah Tapanuli datang ke Teluk Ampean, untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Mereka berjumlah ±5 KK. Setelah mereka mulai menggarap lahan dan membuat perkampungan, timbul niat dari para panombang ini untuk mendirikan gereja Katolik. Niat ini dirembukkan bersama dan mereka sepakat untuk mendirikan gereja darurat asalkan kebutuhan rohani dapat terpenuhi. Gereja darurat ini berdiri tahun 1974 dengan ukuran 5 x 8 meter, atap terbuat dari rumbia, dinding dari bambu dan bahan lainnya kayu bulat. Semua bahan bangunan ini diupayakan secara gotong royong. Susunan Pengurus Gereja yang pertama sebagai berikut: A. Saut Simbolon (Porhanger), A. Akner Simbolon (Sekretaris), A. Berta Marbun (Bendahara). Pada masa awal ini umat berjumlah 8 KK. Pastor pertama yang berkunjung dan melayani stasi ini adalah P. Arie Van Diemen, OFMCap. Selama masa-masa awal ini, Ibadat Sabda masih sangat sederhana, karena belum ada aturan liturgi yang jelas. Namun demikian buahnya sungguh dapat dirasakan oleh umat. Kegiatan berkumpul dan berdoa bersama menambah kekompakan di antara umat. Bahkan mereka sudah mengadakan doa lingkungan pada waktu-waktu tertentu. Selain itu, kaum Ibu sudah mulai membentuk kelompok koor (PIK).
Gereja Lama |
Seiring berjalannya waktu, jumlah panombang ke Teluk Ampean juga semakin bertambah, dan di antara mereka ada yang beragama Katolik. Pertambahan ini membuat gedung gereja yang ada tidak memadai lagi untuk menampung seluruh umat. Untuk mengatasi hal tersebut, Op. Eko Simbolon mengajak umat berkumpul untuk membicarakan rencana pembangunan gereja yang baru. P. Arie van Diemen, OFMCap. turut hadir dalam rapat tersebut. Hasil pertemuan tersebut adalah bahwa pembangunan gereja diadakan dengan bergotong royong. Sebagai bentuk dukungan, Paroki memberi bantuan berupa Seng dan Paku. Dengan semangat yang tinggi umat bergotong royong, mengumpulkan kayu, menggergaji, membawa ke pertapakan gereja dan membawakan makanan-minuman untuk mereka yang bekerja. Orang-orang yang sangat berperan dalam pembangunan ini: Op. Eko Simbolon, Op. Mikael Marbun, Op. Rohotly Sihotang dan Op. Grace Simbolon. Berkat dorongan mereka umat merasakan kebersamaan dan semangat dalam membangun. Akhirnya gereja selesai dibangun pada tahun 1984, dengan ukuran 7x9 M. Ketua Dewan Stasi saat itu masih Op. Eko Simbolon (A. Saut) dan umat berjumlah 24 KK.
Gedung gereja yang baru membawa semangat yang baru pula dalam hidup menggereja stasi Teluk Ampean. Di samping itu tata cara Peribadatan sudah semakin jelas dan teratur. Seluruh umat dapat mengikuti Ibadat Sabda pada hari Minggu dengan penuh hikmat. Mereka sungguh menjalankan ajaran Yesus: ”Pergilah ke seluruh dunia, dan wartakanlah Injil.” Mereka telah merasakan buah dari hidup rohani mereka, maka mereka mulai berbagi ke daerah sekitar untuk membangkitkan semangat menggereja. Beberapa daerah yang pantas disebut sebagai daerah pewartaan dari para tokoh umat di Teluk Ampean antara lain: Sei Peranginan, Sei Piandang, Teluk Binjei dan Pancasila. Ke daerah-daerah tersebut, mereka mengadakan kunjungan, berdoa bersama, membawakan koor dan berbagi pengalaman.
Pada tahun 1985 jabatan kepemimpinan (Porhanger) beralih ke tangan A. Akner Simbolon. Beliau dibantu oleh A. Saut Simbolon (Wakil), A. Bertha Marbun (Sekretaris), A. Dormian Sihotang (Bendahara), dan tiga orang anggota (sintua) yakni: A. Lastina Sinaga, A. Budi Sihotang dan A. Kari Tarihoran. Selama masa kepengurusan mereka semangat hidup menggereja masih tetap dapat dibanggakan. Jumlah umat semakin banyak. Demikian halnya dengan anggota koor, dan lagu-lagunya semakin bervariasi. Pada masa ini kelompok ASMIKA sudah terbentuk. Mereka dibina dengan baik oleh A. Akner Simbolon. Pada masa itu, mereka bisa meraih juara I pada Festival di Paroki.
Periodisasi Pengurus berlangsung pada tahun 1991. Pada saat itu tugas pelayanan sebagai Porhanger diemban oleh Op. Tio Tarihoran, dibantu oleh Op. Rohotly Sihotang (Wakil), A. Bertha Marbun (Sekretaris) dan A. Akner Simbolon (Bendahara). Mereka melayani stasi Teluk Ampean sampai tahun 1994. Pada periode ini kehidupan menggereja di stasi Teluk Ampean mulai mengalami goncangan. Hal ini terutama disebabkan oleh keadaan perekonomian yang semakin merosot. Bencana Banjir, Tikus dan Hama Wereng berturut-turut menghabiskan tanaman padi di sawah. Umat semakin malas ke gereja. Mereka sibuk memikirkan keadaan pertanian yang tidak lagi memberi jaminan hidup. Namun Allah tak pernah meninggalkan umat-Nya. Dalam keadaan putus asa dan tanpa harapan ini, muncullah kelompok MUDIKA. Kelompok ini mampu menghibur umat dan membangkitkan kembali gairah hidup umat dengan menampilkan pertunjukan drama. Mereka dilatih oleh Op. Tio Tarihoran. Dengan ciri khasnya yang periang, penuh canda dan kocak, beliau mampu menganimasi MUDIKA dan memberi hiburan yang menarik kepada umat, di tengah situasi yang cukup berat.
Pada periodisasi tahun 1994, tampuk kepemimpinan stasi beralih ke tangan Op. Rohotly Sihotang, dibantu oleh Op. Jutri Sihotang (Wakil), Op. Kari Tarihoran (Sekretaris), A. Bertha Marbun (Bendahara) dan dua orang anggota yakni A. Reli Simbolon dan Op. Asep Simbolon. Pada periode, umat Teluk Ampean mempunyai harapan baru akan perbaikan ekonomi dengan peralihan dari pertanian padi ke tanaman keras (Karet dan Sawit).
Pada periode 2000-2003 jabatan Ketua Dewan Stasi dipangku oleh Op. Jutri Sihotang (Goinrat Sihotang), dibantu oleh A. Reli Simbolon (Bilman Simbolon) sebagai Sekretaris dan Op. Rohotli Sihotang (Jakorban Sihotang) sebagai Sekretaris. Pada masa ini Op Rohotly Sihotang dan A. Asima Simbolom mengusulkan agar stasi membeli ladang dan mengusahainya. Hasilnya akan digunakan untuk membantu kas stasi dan mempersiapkan dana pembangunan gereja di kemudian hari. Namun hal itu belum bisa direalisasikan dalam waktu dekat. Gagasan baru muncul lagi dari Op. Rohotly Sihotang dan Nelson Simanjuntak (A. Rida) untuk membeli genset, sebagai inventaris gereja untuk penerangan gereja, kampung dan rumah-rumah. Para pemakai genset ini menjadi anggota Koperasi, memberi iuran per-bulan. Akan tetapi hasilnya tidak hanya cukup untuk biaya perawatan, bahkan sanggup untuk menambah kas stasi.
Pada periodisasi tahun 2003 Jawalen Simbolon menjadi Ketua Dewan Stasi, dibantu oleh Elison Sinaga (Sekretaris) dan Nelson Simanjuntak (Bendahara). Pada masa kepengurusan mereka rencana untuk membeli ladang direalisasikan. Mereka membeli ladang PSE Paroki yang ada di Teluk Ampean seluas 2 ha, dengan harga Rp. 5.750.000,oo. Sesuai rencana awal tanah ini dibeli sebagai persiapan untuk pembangunan gereja. Jika nanti ternyata bahwa stasi kekurangan dana pembangunan, maka tanah tersebut akan dijual untuk menambah dana pembangunan. Segera setelah dibeli, tanah tersebut langsung ditanami sawit. Pengolahan lahan diatur oleh stasi dan hasilnya diperuntukkan untuk menambah kas stasi. Dengan ini tampaknya umat stasi Teluk Ampean telah membulatkan tekad untuk segera mengadakan pembangunan gereja. Akan tetapi niat tersebut belum bisa segera terealisasi, karena hasil dari kebun Sawit tersebut belum mencukupi. Sehingga keinginan tersebut sempat hampir hilang.
Gambar Bunda Maria Ratu Rosario dan Yesus Andalanku |
Akan tetapi kondisi bangunan gereja yang sudah mulai lapuk dimakan usia menimbulkan keprihatinan bagi orang yang melihatnya. Hal itulah yang pertama sekali dirasakan oleh P. Hiasintus Sinaga, OFMCap, ketika pertama kali berkunjung ke stasi ini untuk meneguhkan perkawinan Juner Sinaga. Beliau cukup prihatin dengan kondisi gereja. Oleh karena itu, beliau mengusulkan agar diadakan sekali kolekte untuk membantu pembnagunan gereja pada waktu acara peneguhan perkawinan tersebut. Umat Katolik Teluk Ampean merasa malu dengan kejadian tersebut dan tertantang, karena umat yang hadir dalam acara tersebut bukan hanya Katolik. Namun mereka mengambil sisi positifnya. Kejadian itu mendorong para Pengurus, yang saat itu dipangku oleh Marianus Situmorang (KDPS), Minar Simbolon (Op. Rianto) dan A. Rida Simanjuntak, untuk semakin giat menggerakkan umat agar semangat membangun yang sempat tenggelam muncul kembali. Berbagai cara dilakukan umat untuk mengumpulkan dana, mulai dari tabungan per-KK, maupun bentuk lain. Tahun 2006 dimulailah pengumpulan dana pembangunan. Panitia pembangunanpun dibentuk yaitu: Op. Jutri Sihotang dan A. Lamtiur Situmorang sebagai Penasehat, Op. Rohotly Sihotang (Ketua), Marlun Sihotang (Sekretaris), A. Rida Simanjuntak (Bendahara). Untuk mempercepat proses pembangunan, diadakanlah guguan per-KK. Setelah itu diadakan tabungan pembangunan di tiap rumah tangga, juga partisipasi dari orang yang merasa terpanggil untuk membantu pembangunan.
Gereja Baru Tampak Depan Dari Jalan Utama |
Puncak dari semangat umat untuk membangun terjadi pada periode kepengurusan Marianus Situmorang (KDPS), Marlun Sihotang (Sekretaris), dan Nelson Simanjuntak (Bendahara). Mereka terpilih pada periodisasi tahun 2010 dan akan memegang tugas pelayanan tersebut sampai tahun 2015. Mereka dan para Pengurus yang lain, bersama tokoh umat bahu membahu untuk mengusahakan agar pembangunan gereja dapat segera direalisasikan. Karena terjalin komunikasi yang baik dengan pihak paroki, maka pada tanggal 16 September 2011, diadakanlan peletakan Batu I Gereja Teluk Ampean. Meskipun peletakan batu I telah berlangsung, namun masih muncul keraguan di antara umat akan suksesnya pembangunan tersebut. Stasi Teluk Ampean hanya memiliki modal sebesar Rp. 63.000.00063.000.000,oo. Sementara taksasi biaya pembangunan berkisar Rp. 363.000.000363.000.000,oo. Fakta ini tidak menyurutkan nyali mereka. Panitia Pembangunan bersama seluruh umat dengan gigih mengusahakan cara untuk mengumpulkan dana ini, termasuk dengan memohonkan bantuan. Usaha mereka tidaklah sia-sia. Gereja tersebut akhirnya selesai dibangun, dan Bapa Uskup, Mgr. Anicetus B. Sinaga, OFMCap. memberkati gereja tersebut pada tanggal 03 Juni 2012. Gereja tersebut didedikasikan kepada St. Maria Ratu Rosario.
Tampak Dari Halaman |
Interior Gereja Baru
STASI SANTO YUSTINUS HUTABARU
Awal Mula
Pada tanggal 1 Januari 1969, gereja katolik di Hutabaru memulai langkah awal perjalanan sejarahnya. Pada saat, di kampung Hutabaru terdapat beberapa orang katolik sebagai pendatang dari daerah Tapanuli. Kemudian mereka mengadakan perkumpulan. Dalam perkumpulan itu selalu diawali dengan ibadat. Sebelumnya mereka sudah biasa mengadakan peribadatan dari kampung halaman sebelumnya di daerah asal (Tapanuli).
Rumah keluarga Bapak Guntar Manurung hampir selalu dipakai untuk pertemuan mereka. Pemimpin perkumpulkan sekaligus pemimpin ibadat ditangani oleh Bapak Pengadilan Sihombing. Jumlah kelompok pertama ini ada 9 KK, ditambah 3 orang pemuda.
Kemudian perkumpulan ibadat digilir dari rumah umat yang satu ke rumah yang lain berlangsung selama 1 tahun. Setiap kali mengadakan perkumpulan, pembicaraan tentang pembangunan gereja selalu menjadi topik yang hangat. Hasil pembicaraan yang satu ke pembicaraan berikut adalah sebuah rencana serius untuk mendirikan gereja sangat sederhana.
Gereja Lama |
Robohnya gereja tidak menyurutkan semangat umat. Justru keadaan ini memperkuat kerjasama diantara mereka. Akhirnya pada tahun 1971, dengan semboyan “Dos ni roha do mula ni hadedenggan”, (jiwa kebersamaan adalah awal kebaikan bersama) mereka saling membahu membangun gereja baru. Gereja baru ini sedikit lebih kuat dan lebih besar dari pada yang pertama.
Kenangan indah masih segar terukir dalam hati umat sekarang dimana mereka sangat merasakan persaudaraan yang penuh kasih kekeluargaan pada awal mula pendirian Gereja Katolik. Semua umat, mulai dari anak-anak sampai orang tua turut serta dalam proses pembangunan. Baik pemikiran, waktu dan tenaga serta materi mereka sumbangkan dengan senang hati dari ketulusan hati. Orang – orang muda dan keluarga muda mengangkut bahan bangunan seperti kayu dari hutan ke lokasi pembangunan. Pengangkutan bahan bangunan masih dengan tenaga manusia, karena kenderaan bermotor belum bisa masuk ke daerah Hutabaru karena kondisi jalan yang tidak mendukung. Para orangtua semangat menyemangati dan saling mendukung untuk membuat yang terbaik demi terbangunnya sebuah gereja. Anak – anak juga memberi tenaga sesuai dengan kepatutannya. Para wanita mempersiapkan makanan dan minuman bersama.
Masa pembangunan awal sungguh merupakan masa perjuangan yang hebat bagi umat stasi Hutabaru namun sangat mengesankan. Melihat perjuangan dan kerja keras umat yang begitu besar, dan indahnya kebersamaan yang ada maka Bapak Samkao dari Aekkanopan sangat terkesan. Ungkapan keterkesanan beliau adalah sumbangan sejumlah uang (tidak ingat lagi berapa jumlahnya waktu itu). Akhirnya berdirilah gereja stasi Hutabaru dengan ukuran 7 x 9 m, dinding dari papan dan beratap seng.
Perbaikan gereja berimbas positif pada pertambahan jumlah umat. Akan tetapi karena jarak tempuh yang cukup jauh dan kondisi jalan yang tidak mendukung keluarga-keluarga katolik di Sei Naetek dan Rambong Merah memilih untuk memisahkan diri dan beribadat di daerah mereka masing-masing. Maka pada tahun 1975 terbentuklah 3 stasi, yakni ; stasi Hutabaru, Sei Naetek, dan Rambong Merah.
Pada tahun 1976 umat stasi Huta Baru berjumlah 25 KK. Jumlah ini meningkat lagi, sehingga pada tahun 1978 jumlah umat mencapai 30 KK. Akan tetapi, rupanya pada masa-masa awal ini alam kurang bersahabat. Pada tahun 1979, benteng Sungai Kualuh pecah dan terjadilah banjir besar yang menghancurkan padi di sawah yang sedang menguning, sehingga terjadi gagal panen. Peristiwa ini memaksa penduduk exodus dari Hutabaru, termasuk beberapa keluarga katolik. Akhirnya jumlah umat katolik berkurang. Berkurangnya jumlah umat katolik di Hutabaru juga diakibatkan oleh karena perpindahan umat mencari lahan untuk menghidupi keluarga yang lain ke tempat lain.
Sejak mulai masuknya pengusaha untuk membangun kebun sawit pada era awal tahun 1990-an sejak itu pula gaya hidup masyarakat Asahan dan Labuhan batu mulai berubah. Perlahan-lahan masyarakat semakin getol bertanam sawit karena pemasarannya sudah tidak sulit lagi. Sebegitu besarnya gerakan bertanam sawit maka pemerintah mencoba mengeremnya. Kebijakan pihak Pemkab dan DPRD Labuhanbatu untuk memberlakukan Peraturan Daerah (Perda) no. 39 tahun 1998 tentang pemanfaatan dan pengaturan lahan sawah di Labuhanbatu. Peraturan daerah ini merupakan acuan untuk pembatasan terjadinya alih fungsi lahan persawahan ke perkebunan sawit.
Perobahan gaya hidup masyarakat dari bertanam padi menjadi bertanam sawit mempengaruhi juga gaya hidup peribadatan umat. Dengan hadirnya sawit, waktu umat ke ladang semakin banyak dan tentunya menjadi lebih letih dibandingkan ketika hanya bertanam padi seturut musimnya. Kendati demikian sebagian besar umat masih tetap setia untuk mengadakan perkumpulan setiap minggu. Satu dua KK memang mulai alpa di gereja pada hari Minggu.
Stasi Hutabaru memiliki kebanggaan tersendiri di hadapan seluruh stasi yang ada di seantero Paroki St. Pius X Aekkanopan karena pastor pertama dari Paroki Aekkanopan berasal dari Hutabaru, yakni P. Norbert Ambarita, OFMCap. Meskipun orangtua pastor ini telah pindah ke Pematang Siantar, tetapi beliau diberangkatkan dari stasi Huta baru. Setelah ditahbiskan menjadi imam pada tanggal 5 Desember 1992, P. Norbert Ambarita, OFMCap., masih mempersembahkan Misa I di stasi Hutabaru.
Kepengurusan dari tahun ke tahun
Tahun
|
Porhanger
|
Sekretaris
|
Bendahara
|
1969 – 1975
|
Pangadilan Sihombing
|
-
|
-
|
1975 – 1986
|
Daulat Sianturi
|
R. Manurung
|
-
|
1986 – 1990
|
Robert Manurung
|
Konrad Sianturi
|
-
|
1990 – 1993
|
Jusmin Siagian
|
-
|
-
|
1993 – 1996
|
Manotar Lumbangaol
|
-
|
-
|
1996 – 1999
|
Aleksander B. Nadapdap
|
Salamat Ambarita
|
Suanto Nadapdap
|
1999 – 2004
|
Jusmin Siagian
|
Aleksander B. Nadapdap
|
Suanto Nadapdap
|
2004 – 2007
|
Jusmin Siagian
|
Salamat Ambarita
|
Pita br. Sihombing
|
2007 - 2010
|
Manontang Sihombing
|
Salamat Ambarita
|
Jonny Sianturi
|
2010 – 2015
|
Jusmin Siagian
|
Tumbur Galingging
|
Demson Nadapdap
|
Gereja Baru
Sejak akhir tahun 1997 pembicaraan-pembicaraan mengenai kondisi gereja yang sekarang sudah mulai bergulir. Pada tahun 2000 umat, yang saat itu berjumlah 24 KK, berniat memperbaiki kembali gerejanya, karena papannya sudah lapuk dan sengnya bocor. Untuk merealisasikan keinginan ini, setiap keluarga mengumpulkan iuran Rp. 1000 /minggu (Rp. 52.000 / tahun). Untuk mendukung rencana ini pihak seksi pembangunan beberapa kali mengadakan kunjungan khusus sambil mengadakan rapat khusus di stasi santo Yustinus Hutabaru. Setiap kali kunjungan, perayaan ekaristi juga selalu dilaksanakan untuk semua umat. Dan sebelum rapat khusus dengan panitia pembangunan, penganimasian juga diupayakan untuk semua umat dalam gereja.
Untuk menyatukan hati dan menggalang kebersamaan dalam perealisasian pembangunan ini bukanlah hal yang gampang. Akan tetapi dengan semangat kerasulan yang tulus dari pihak seksi pembangunan paroki, akhirnya semua umat mampu untuk menerima satu sama lain dan secara bersama memiliki tekad bulat untuk memperjuangkan pembangunan gereja baru.
Dengan kondisi yang ada, Pastor paroki bersama DPP terutama bersama seksi pembangunan tetap berupaya menggalang kebersamaan dan semangat kesatuan umat untuk membangun Gereja yang hidup dan bangunan gereja secara fisik. Walau sangat meletihkan pihak paroki tetap sabar mendampingi umat agar semakin kompak. Beberapa kali pihak paroki harus turun ke stasi hanya untuk memperdamaikan yang beselisih dan selalu diadakan perayaan ekaristi. Perlahan-lahan kondisi sedikit membaik dan akhirnya terbentuklah kepanitiaan pembangunan gereja dengan sususnan sebagai berikut: Pelindung: P.Hiasintus Sinaga, OFMCap (Pastor Paroki); Penasehat:Nelson Simanjuntak (Ketua Seksi Pembangunan Paroki); Hartanto Siburian; Jasmin Siagian (Ketua Dewan Stasi); Ketua : Alexander Nadapdap; Sekretaris: Goodman Nadapdap; Bendahara 1 : Diakon Oscar Tober Sinaga, OFMCap.; Bendahara 2 : Esna Manurung; Anggota : Toga Manurung dan Tumbur Sigalingging; Kontraktor: Marulitua Lumbangaol, ST.
Maka dengan menimbang kondisi yang sudah kondusif ini, pada tanggal 13 Desember 2011 Pastor Paroki P. Hiasintus Sinaga, OFMCap memimpin perayaan ekaristi dalam rangka peletakan batu I. Pihak DPP, seksi pembangunan, tim pastoral dan pihak rayon Hutabaru turut hadir dalam peristiwa bersejarah ini sebagai tanda dukungan bagi umat Hutabaru. Gereja baru yang akan didirikan seluas 15 x 30 M. Pada saat ini umat stasi Hutabaru berjumlah 30 KK.
Dalam penantian yang panjang serta kerinduan yang kuat umat stasi Hutabaru untuk memiliki gereja yang aman dan nyaman untuk dipakai. Kerinduan ini semakin lama semakin terasa dan mereka tunjukkan dari usaha keras mereka mengumpulkan dana sedikit demi sedikit. Kendati perikehidupan perekonomian umat yang sangat pas-pasan, mereka dengan perjuangan jatuh bangunnya membangun semangat kesatuan selalu menyisihkan sebagian dari pendapatan mereka yang sangat memprihatinkan. Mereka sungguh memberi dari kekurangan mereka. Semangat ini diapresiasi oleh pihak seksi pembangunan paroki dan dewan pastoralnya.
Pihak paroki bukanlah pihak yang pertama dalam pengupayaan pengumpulan dana pembangunan ini tetapi umat itu sendiri. Kesatuan umat dalam iman, untuk mengupayakan pembangunan ini merupakan dasar utama pembangunan ini. Dan hal inilah yang selalu ditekankan oleh pihak Seksi Pembangunan Paroki. Dengan segala perjuangannya hal ini secara perlahan diterima seluruh umat, sehingga pada Sidang Paripurna DPP Paroki mendukung sebulat hati rencana pembangunan ini.
Di Paroki St. Pius X Aekkanopan sudah ada ketentuan yang sudah disepakati oleh peserta sidang paripurna bahwa untuk membangun gereja setiap tahunnya, harus memenuhi beberapa syarat mutlak yakni ; Pertama : Keseluruhan umat nyata-nyata memiliki kesatuan dan kekompakan untuk membangun, Kedua : wujud dari kesatuan itu harus kelihatan dari keseriusan umat se-stasi dalam mengumpul dana dan memberi partisipasi yang optimal termasuk tenaga, waktu dan bahan materi bangunan yang bisa diupayakan sendiri tanpa harus membeli ; Ketiga ; Kondisi yang memprihatinkan dari berbagai aspek bangunan yang ada sekarang.
Ketiga kriteria ini sungguh dimiliki oleh stasi Teluk Ampean, sehingga mereka didukung oleh peserta sidang paripurna 2011 yang lalu. Ada 4 (stasi) yang mengusulkan untuk membangun pada saat sidang paripurna, akan tetapi tiga stasi lainnya harus sabar menunggu gilirannya untuk memenuhi ketiga kriteria tersebut di atas. Untuk kali ini stasi santo Yustinus Hutabaru merupakan stasi yang paling memenuhi syarat dibandingkan dengan ketiga stasi yang lain.
Hal inilah merupakan latar belakang utama mengapa segenap paroki, yang diwakili oleh seksi pembangunan mendukung dan bekerja keras juga dalam pengupayaan pembangunan ini. Seksi pembangunan selalu menyadarkan umat bahwa bukan pastor dan DPP yang menjadi pihak yang paling berkepentingan dalam pembangunan gereja tetapi umat itu sendiri. Demikianlah dari waktu ke waktu umat dididik untuk semakin mandiri dan semakin dewasa, ulet dan militan.
Dengan derap langkah kebersamaan panitia bersama Seksi Pembangunan paroki bekerja keras untuk membuat dan mengedarkan proposal kepada pihak-pihak yang dianggap pantas membantu terutama pihak Keuskupan Agung Medan, DSAK-KWI, pemerintah dan para donatur dalam paroki dan luar paroki. Syukur kepada Tuhan atas bimbingan dan pertolonganNya cukup banyak juga orang yang bermurah hati untuk membantu umat stasi Hutabaru dalam membangun gereja yang dimaksud. Dengan perasaan yang lega banyak pihak sangat bersyukur bahwa gereja yang tergolong menarik akhirnya rampung dan diberkati oleh yang mulia (Uskup Emeritus) Mgr. Pius Datubara, OFMCap tanggal 02 September 2012.
Gereja Baru |
STASI SANTO HUBERTUS PADANG MAHONDANG II
Pada tahun 1963 di kecamatan Pulau Raja tepatnya di Padang Mahondang (± 12 km ke arah timur Pulau Raja), terdapat lahan kosong yang cocok dijadikan persawahan atau panombangan baru. Berita ini tersiar sampai ke pulau samosir, sehingga banyak orang Samosir datang ke Padang Mahondang dengan tujuan bertani atau manombang. Di antara orang-orang yang merantau ini ada yang beragama katolik. Pertama-tama mereka beribadat di rumah-rumah karena gereja belum dibangun. Rumah yang biasa dipakai sebagai tempat berdoa adalah rumah Badu Lubis (alm.) dan rumah Dewan Tamba (alm.). Pemimpin perkumpulan doa ini adalah bapak A. Massius Sinaga (alm.). Bapak inilah yang bersusah payah mengumpulkan bapak-bapak untuk berkumpul. Ibu-ibu belum ada karena isteri mereka masih tinggal di Samosir. Kegiatan ibadat di rumah ini berlangsung hampir 1 tahun.
Pada awal tahun 1964 umat mulai mendirikan gereja secara darurat, bertempat di Aek Kalubi sekarang. Gereja itu terbuat dari tiang kayu bulat, dinding dari anyaman tepas, lantai tanah, atap terbuat dari anyaman “rumbia” dan tempat duduk terbuat dari kayu bulat. Pada tahun 1965, gedung gereja ini pindah ke tempat lain yaitu di Suka Ramai (tempat gereja sekarang) yang dibeli dengan swadaya umat dari Bapak J. Haro (alm.), seorang umat Katolik, seluas 40x40 m. Perkembangan umat yang cukup pesat membuat stasi ini berniat membangun kembali gedung gereja dengan ukuran yang lebih besar. Akhirnya pada tahun 1966 gedung gereja dibangun dengan ukuran 7x10 m, tiang kayu bulat, dinding dari gedek, atap terbuat dari lalang, lantai tanah, dan tempat duduk dari kayu bulat. Vorhanger (Ketua Dewan Pastoral Stasi) pada waktu itu adalah A.Massius Sinaga.
Dalam perjalanan waktu, secara perlahan-lahan jumlah umat semakin bertambah. Demikian juga halnya dengan kondisi gereja yang pada awalnya hanya bangunan kecil sederhana kini telah berobah menjadi bangunan yang lebih baik. Kesadaran umat tentang agama berkembang dengan subur. Sekitar tahun 1975-an, timbul niat khususnya umat yang berasal dari dusun Parsaoran untuk melangsungkan peribadatan di tempat mereka sendiri. Pertimbangannya adalah jarak tempuh dari desa Parsaoran Padang Mahondang II ke Padang Mahondang I cukup jauh. Demikian juga halnya kondisi jalan pada waktu itu belum bagus. Dilihat dari jumlah KK, daerah ini sudah memadai dimekarkan menjadi satu stasi karena umat yang berasal dari Desa Parsaoran ada lebih kurang 20 KK.
Paroki sebagai penentu kebijakan dengan gembira mendukung niat baik dari umat Parsaoran. Maka demikianlah pada tahun1980 tepatnya ketika P. H. Simbolon, menjabat sebagai porhanger, umat parsaoran lepas dari Padang Mahondang I. Sebagai Jemaat yang masih muda, untuk sementara waktu mereka beribadat di rumah-rumah setempat. Tampuk kepemimpinan stasi pertama kali dipegang oleh Op. Biher Sinaga. Hasrat untuk memiliki pertapakan gereja segera muncul, demikianlah akhirnya mereka langsung membeli sebidang tanah. Adapun ukuran tanah itu kira-kira 400 m. Di lokasi tanah yang telah mereka beli itu, akhirnya didirikan bangunan gereja yang sangat sederhana. Ukuran mula-mula adalah 7 x 5 m. Beratapkan ilalang, berdinding gedek dan berlantai tanah demikianlah bentuk gereja itu bila digambarkan.
Setiap umat pasti mendambakan bentuk gereja yang mendukung suasana peribadatan. Umat Parsaoran, telah lama berpikir demikian. Maka untuk merealisasikannya segera dibuat partisipasi dana pembangunan. Partisipasi itu mereka kumpulkan selama bertahun-tahun, hingga pada akhirnya gereja lama itu dapat di renovasi. Pada tahapan kedua ini kondisi fisik gereja sudah lebih baik, tetapi masih tergolong sangat sederhana, berlantai semen kasar dan dingding kayu kasar serta beratap seng sederhana.
Dalam perjalanan waktu kurang lebih 25 tahun gedung gereja ini semakin tua dan lapuk. Atapnya juga sudah mulai bocor dan dingging papan kasar mulai membusuk. Suasana dalam gereja semakin tak karuan karena kondisi bangunan yang tidak laik pakai ditambah lagi dengan cuaca panas yang menyengat dari atap yang sangat rendah dengan lantai atau tempat duduk umat.
Dengan demikian, sejak tahun 2000 sudah ada pembicaraan di kalangan umat untuk membangun gereja yang lebih baik. Perlahan-lahan dana dikumpulkan dari partisipasi umat stasi. Akan tetapi kesatuan dan kekompakan umat tidak sungguh mendukung pertambahan pengumpulan dana ini. Kebersamaan umat semakin tidak kondusif juga karena pengaruh permasalahan lahan dalam Ikatan Petani Pancasila di desa Padang Mahondang.
Kendati demikian, kurang lebih 2 bulan sebelum serah terima jabatan pastor paroki (28 Januari 2007) dari P. Nelson Sitanggang, OFMCap kepada P. Hiasintus Sinaga, OFMCap, sekelompok umat dan pengurus gereja datang ke paroki untuk secara resmi bermohon pembangunan gereja. Pertemuan itu dihadiri oleh P. Nelson Sitanggang dan P. Hiasintus Sinaga, OFMCap. bersama dengan beberapa DPP dan pastor rekan.
Usulan utusan umat Padang Mahondang ini kemudian ditindak lanjuti oleh DPP terutama seksi Pembangunan dan pastor paroki sehingga pada pertengahan tahun 2007 dilaksanakanlah peletakan batu pertama dengan pemborong dari Pematangsiantar atas nama kontraktor Abdi Barus. Namun sangat disayangkan karena masalah perekonomian menempa pihak pemborong, diam-diam sang pemborong kabur dan tidak dapat mempertanggung jawabkan bangunan.
Selanjutnya permasalahan ini diusung ke Sidang Paripurna Dewan Pastoral Paroki Aekkanopan pada tanggal 30 November s/d 01 Desember 2007. Rekomendasi dari sidang paripurna ada 3 butir. Pertama, segala upaya mesti diupayakan untuk perlahan-lahan merampungkan bangunan tanpa terlalu terhalang dengan usaha pengusutan pemborong. Kedua: Sebagai bentuk partisipasi Rp 15.000 per KK separoki terus digalakkan. Ketiga: Setiap kepala keluarga umat stasi Padang Mahondang II mesti memberi iuran minimum Rp 500.000.
Demikianlah gedung gereja ini perlahan-lahan ditangani oleh tukang dari paroki dengan semangat pelayanan. Kendati kesatuan dan kebersamaan umat di Padang Mahondang II ini tidak begitu menggembirakan, akhirnya gereja itu dirampungkan dengan baik oleh pihak paroki dan rayon serta beberapa umat stasi yang sangat sangat tulus. Beberapa umat yang tidak bisa diajak bekerjasama tidak menjadi penghalang untuk membereskan pembangunan ini.
Dengan segala perjuangan dan pahit getirnya pengalaman yang sudah dilalui akhirnya gereja dapat dirampungkan dan berdiri cukup megah. Pada tanggal 31 November 2010 gereja ini diberkati oleh Yang Mulia Uskup Agung Medan Mgr. Anicetus Bongsu Sinaga, OFMCap. Umat bergembira yang berjumlah 35 KK ini bersukacita dengan gereja mereka yang baru.
Beberapa KDPS yang pernah menjabat di stasi ini adalah:
- Op. Biher Sinaga (1980)
- OP. Suheri Tamba
- Op. Sehat (2000)
- Op. Suheri Tamba (2002)
- Bpk. Parida Tamba (2008- sekarang).
STASI ST. KORNELIUS PULO ANGIN
Gereja Katolik stasi Pulo Angin merupakan salah satu dari stasi-stasi yang ada di Rayon Pamingke. Menurut data sejarah, stasi ini berdiri pada tahun 1970. Menurut beberapa keterangan yang didapat, Gereja Katolik di Pulo Angin dirintis oleh Pak Romasi Situmorang beserta beberapa orang temannya dari Lobutua, Palipi – Samosir. Mereka ini adalah rombongan para panombang yang datang untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Dari sekian banyak para panombang yang datang, lima diantaranya adalah katolik. Mereka itu adalah: Ama. Romasi Situmorang, Bonatua Malau, Ama. Mantun Sinaga dan Ama. Roslin Sinaga.
Pada awal tahun 1972, waktu musim panen, arus panombang dari desa nawalu semakin banyak. Beberapa orang di antaranya beragama Katolik, yakni rombongan bapak J. Hasugian dari Tigalingga, J. Silaban dari Buho-T.Tinggi, P. Panjaiatan dari Raja Maligas, Ama Roslan Gultom dari Sitamiang, B. Sinambela dari Lontung/Sipira, S. Sinaga dari Tiga Dolok dan ada lagi dari tempat yang lain. Banyak dari antara mereka masih ‘mardua huta’ (dua tempat tinggal) dan waktu musim panen tiba mereka datang bersama kaum ibu.
Sebagai kelompok pendatang gelombang kedua, sangat wajarlah mereka untuk segera berbaur dengan kelompok yang lebih awal. Melihat bahwa ada yang beragama Katolik mereka akhirnya atas bimbingan Roh Kudus berembuk dan membuat kesepakatan untuk membuat partangiangan (kelompok doa). Peribadatan diadakan setiap hari Minggu. Karena mereka belum memiliki gereja sebagai tempat peribadatan, untuk sementara waktu mereka melangsungkan kegiatan peribadatan di gubuk Bapak J. Hasugian. Disamping karena letaknya strategis gubuk ini dirasa lebih layak karena ukurannya lebih memadai dibandingkan dengan gubuk-gubuk yang lain. Gubuk atau rumah ini disebut orang “rumah tinggi”, karena memang beda tingginya dengan rumah yang lain. Peristiwa ini terjadi sekitar bulan Februari 1972.
Sebagai perintas agama Katolik, umat setempat langsung mempercayakan tugas penggembalaan kepada Ama. Romasi Situmorang dibantu oleh Bapak J. Silaban dan J. Hasugian. Sarana peribadatan yang mereka pakai sangat sederhana. Haya satu Kitab Suci, satu Buku Nyanyian (Buku Ende Toba) seuntai Rosario yang besar, yang sengaja dibawa dari Lobutua - Palipi.
Berkat rahmat Tuhan jumlah umat pun bertambah. Dan tidak terasa masa Natal pun semakin dekat. Ini terjadi sekitar bulan September 1972. Gubuk atau rumah tidak lagi memungkinkan ditempati, maka umat bermusyawarah untuk membangun gereja yang baru. Sesuai dengan kesepakatan, dibeli pertapakan gereja berukuran 30x70 M dengan harga Rp. 5000 (lima ribu rupiah). Gedung gereja darurat dibangun secara gotong-royong berukuran 5x7 M. Gereja itu terbuat dari kayu bulat, atap ilalang dan dinding gedek, bangku dari ‘sopetan’ atau ‘sayungan’. Pada waktu itu atap disumbangkan oleh bapak P. Panjaitan dan bapak B. Sinambela menyumbangkan minuman kopi waktu mendirikan gereja.
Setelah gereja selesai dibangun, A. Romasi Situmorang diutus untuk melapor ke Pastor Paroki di Kisaran. Bapak ini membawa peralatan liturgi, ayat-ayat natal dan buku Aturan Mananom na Mate dari Paroki.
Pastor yang pertama sekali ke stasi P. Angin adalah P. Schepens, OFMCap. Waktu itu jalan belum ada, “marumbal-umbal”. Pastor terpaksa digendong, satu orang di kanan dan satu orang di kiri; ada yang membawa tas (secara bergantian ) sepanjang lebih kurang 150 m. Peristiwa ini terjadi sekitar Juni 1973, sekaligus peresmian dan pelantikan pengurus gereja stasi Pulo Angin.
Pengurus yang dilantik waktu itu adalah: Ama Romasi Situmorang (Porhanger), J. Silaban (wakil porhanger), P. Panjaitan (Ketua bangunan atau kasgestur), M.T. Manalu (Sekretaris), A. Roslan Gultom (Bendahara), J. Hasugian, B. Sinambela, S. Sinaga, M. Situmorang sebagai anggota/ sintua. Jumlah umat pada waktu itu adalah 28 kk.
Pada tahun 1974, Bapak J. Hasugian dipindahkan oleh Pastor Schepens, OFMCap dan P. Arie van Diemen, OFMCap ke Panigoran untuk memimpin umat Katolik yang sudah lama ada di sana. Untuk menutupi kebutuhan keluarga bapak ini, Pastor mempekerjakannya di perkebunan Padang Halaban. Kebetulan pemilik kebun itu adalah seorang Belgia yang punya relasi khusus/dekat dengan pastor.
Dalam tempo 5 tahun gereja darurat tidak lagi sanggup untuk menampung kehadiran umat. Semakin lama-semakin banyak umat yang tambah. Melihat kondisi demikian serta atas pertimbangn dari P. Arie van Diemen, OFMCap, maka dibangunlah gereja baru yang lebih besar, semi permanen dengan ukuran 7 x 9 m. Gereja ini selesai dibangun sekitar Agustus 1978. Jumlah umat pada waktu itu kira-kira 45 KK.
Hidup menggereja umat pada waktu itu sangat menggembirakan. Setiap kali ada kegiatan kerohanian di gereja, umat sungguh memadati gereja yang ada. Baik ibu-ibu maupun bapak-bapak, mereka semua sangat antusias mengikuti peribadatan dan kelompok doa rosario. Mereka selalu kompak. Mata pencaharian utama pada waktu itu adalah bertani.
Namun beberapa tahun kemudian semangat menggereja umat sudah mulai kendor. Umat yang pada awalnya bermata pencaharian berladang kini telah berubah ke pola industry sawit. Selain itu, kendornya semangat umat dalam menggereja juga dipengaruhi oleh arus perpindahan. Alasan kepindahan itu karena kondisi tanah dirasa tidak lagi mendukung ke sektor prtanian. Kondisi tanah tidak lagi pas dijadikan sebagai lahan pertanian. Padi yang ditanam tidak dapat berkembang karna struktur tanahnya tidak lagi sesuai. Hal ini terjadi kira-kira tahun 1982. Penurunan jumlah umat juga semakin tajam, yang dulunya mencapai 45 KK kini tinggal 20 KK.
Tantangan yang dihadapi memang sulit. Pada umumnya orang-orang yang memilih tetap bertaahan di tempat itu karena tidak memiliki modal untuk mecari tempat tinggal yang baru. Demi menjaga kelangsungan hidup, sebagaian dari mereka akhirnya menjadi karyawan perkebunan, karena memang tanah warga yang dahulunya dimiliki itu telah dijadikan perkebunan sawit oleh pengusaha Cina. Sebagaian dari mereka keluar masuk hutan untuk mencari kayu. Dalam situasi sulit demikian mereka tetap melakukan peribadatan kendati dari segi kualitas dan kuantitasnya sangat berkurang.
Sekitar tahun 1990, atas prakarsa P. Panjaitan penduduk di Pulo Angin mulai menggugat kembali tanah penduduk yang pernah dijual itu. Usaha ini berlangsung cukup lama, karena secara hukum tanah itu sah dimiliki oleh Ahok / Sahat Rusli (Pemilik kebun). Latar belakang penggugatan ini karena penduduk yang berdomisili di Pulo Agin tidak lagi memiliki tanah untuk diolah, padahal merekalah yang telah bersusah payah untuk membuka lahan itu sejak dari awal.
Pastor Fidelis Sihotang OFMCap, pemerhati yang benar-benar mengerti keresahan umat / masyarakat mencoba bernegoisasi dengan pemilik kebun. Kendati agak lama usaha itu nampaknya tidak sia-sia karena kira-kira tahun 1996, sang pemilik kebun mengembalikan tanah yang telah dikelola seluas 40 ha, sesuai dengan jumlah penduduk yang berdomisili ditempat lengkap dengan seluruh data administrasinya.
Dalam rentang waktu yang hampir bersamaan, PT Tor Ganda mulai membuka perkebunan sawit di daerah Gambangan, sebelah Utara Pulo Angin. Sebagian dari karyawannya beragama Katolik. Dengan dibukanya lahan perkebunan itu, jumlah yang beragama Katolik pun bertambah menjadi 40 KK, karena mereka beribadat di Pulo Angin.
Hasrat untuk memiliki gereja yang baru senantiasa timbul dalam benak umat. Niat ini diwujudkan dengan mulai diadakannya pengumpulan dana pembangunan gereja seharga 1 kaleng beras / setiap tahun. Sekitar tahun 2004 atas kesepakatan bersama tahap pembangunan gereja dimulai. Peletakan batu pertama dilaksanakan pada bulan Agustus 2004. Ukuran bangunan gereja yang direncanakan adalah 9 x19 m.
Gedung gereja baru permanen ini diresmikan pada bulan Mei 2005 oleh Mgr. A.G.Pius Datubara OFMCap. Sejak saat itu jugalah ditetapkan bahwa pelindung dari stasi ini adalah santo Kornelius. Jumlah umat pada waktu itu sekitar 42 KK sedangkan pemugaran lokasi gereja dilakukan pada tahun 2012.
Susunan Pengurus Gereja di Pulo Angin sejak awal berdirinya adalah sebagai berikut:
1. Ama. Romasi Situmorang dari tahun 1973-1978 (pindah ke Aekkanopan); anggota-anggota adalah J. Silaban, P. Panjaitan, M. T. Manalu, Ama. Roslan Gultom, J. Hasugian, B. Sinambela, S. Sinaga, dan M. Situmorang. 2. M. T. Manalu (Pak Suryani) dari tahun 1979-1996; anggota-anggota adalah A. Roslan Gultom, S. Sinaga, M. Situmorang, dan K. br Tumorang, W. Gultom, S. Nainggolan, W. Nainggolan. 3. M. Silaban dari tahun 1997-1999; anggota-anggota adalah D. Manurung, S. br. Sembiring. M.T. Manalu, K.br. Tumorang. S. br. Ambarita. 4. M.T. Manalu (Pak Suryani) dari tahun 2000-2007; anggota-anggota adalah D. Manurung, S. br. Manurung, S. br. Sembiring. K. br Tumorang M. Silaban, S. br. Ambarita. 5. D. Manurung dari tahun 2008 – 2015; anggota-anggota adalah K. br. Situmorang, P. F. Manalu, S. br. Manurung, P. Gultom, F. Sinaga, P. br. Sitorus, dan N. Siburian, Nai Rosminar Sitorus. F.Sinaga.
Dengan segala upaya, Bapak M.T. Manalu selaku Pelaksana I Dewan Pastoral Paroki St. Pius X Aek Kanopan yang berdomisili di stasi ini, terus menerus menyemangati umat dan para pengurus untuk bangkit terus memperjuangkan penghayatan umat akan visi-misi paroki. Kesuburan hidup rohani adalah jiwa kebersamaan dan kemandirian. Untuk itu Beliau bersama para pengurus tetap mengupayakan penyemangatan kepada umat dengan melakukan kegiatan-kegiatan rohani yang berpadanan dengan program paroki dan rayon.
Pada tahun 2010 misalnya perecikan rumah umat masa prapaskah yang ditawarkan oleh Pastor Hiasintus Sinaga, OFMCap sebagai pastor paroki mereka sambut dengan baik dan umat pun merasa bangga dan gembira dengan pelaksanaan itu. Selain itu, umat juga dengan antusias merayakan pesta pelindung stasi yakni Santo Kornelius yang merupakan pesta kebersamaan dan sekaligus gerakan pengumpulan dana dalam pembenahan-pembenahan stasi. Hal itu mereka lakukan dengan rutin sejak 2009 yang lalu dengan mengikuti perayaan ekaristi. Kegiatan Anak sekolah minggu dan OMK juga tidak luput dari perhatian mereka.
Saat ini jumlah umat terdiri dari 52 KK dan 202 jiwa. Dan stasi ini tergolong stasi yang cukup besar dalam paroki St. Pius X Aek Kanopan serta stasi yang terbesar di rayon Pamingke. Kehidupan ekonomi umat tergolong sebagai kelompok menengah ke bawah.
Keceriaan Anak Sekolah Minggu Pulo Angin |
STASI SANTO YAKOBUS ADIAN TOROP
Secara historis agama Katolik masuk ke Adian Torop sekitar tahun 1967. Penyebaran agama ini berasal dari para perantau yang berasal dari ‘Desanaualu’ yang hendak mengadu nasib di tempat yang baru. Menurut informasi yang berhasil dihimpun, jumlah mereka mula-mula hanyalah 8 KK. Sebagai jemaat yang baru mekar, untuk sementara waktu mereka melangsungkan peribadatannya di rumah bapak G. Simangunsong. Setelah 4 bulan peribadatan berjalan, umat mulai berpikir untuk mendirikan Gereja dan kemudian bapak G. Simangunsong diangkat menjadi seksi pembangunan. Sebagai langkah awal pembangunan, mereka mengumpulkan iuran (guguan) sebesar Rp. 450 per-KK. Uang yang terkumpul sebesar Rp. 3.600 digunakan untuk membeli tanah Gereja seluas ½ ha. Segera sesudah tanah diperoleh, umat bergotong royong mengambil kayu dari hutan dan memulai pembangunan gereja. Akhirnya gedung gereja berukuran 5x7m, berdinding tepas, beratap ilalang, bertiang bulat dan lantai tanah, selesai dibangun dalam waktu yang cukup singkat hal ini terjadi pada tahun 1969.
Selanjutnya umat mulai memilih Pengurus Gereja, dengan susunan sebagai berikut:
Vorhanger: M.Purba; Sintua : B. Sihombing dan K.Aritonang; Pengurus Bangunan: G. Simangunsong.
Pada tahun 1971, angin putting beliung menghantam gereja dan ambruk seketika. Meskipun gereja telah ambruk, namun umat tetap setia melaksanakan ibadat pada hari Minggu di rumah porhanger M. Purba. Keadaan ini berlangsung selama enam bulan. Para Pengurus Gereja mengumpulkan umat untuk bermusyawarah guna membeli pertapakan baru, yang lebih aman. Umat sepakat untuk membeli pertapakan baru. Mereka memberi iuran per-KK sebesar Rp. 150. Pada tahun 1972, hasil guguan per-KK (berjumlah Rp. 1.200) digunakan untuk membeli pertapakan gereja seluas 2 rante, yang terletak di pinggir rel Kereta Api (lokasi gereja sekarang). Dengan semangat, umat kembali membangun gereja berukuran 5x7m tiang persegi, dinding papan, atap ilalang dan lantai tanah. Pada masa itu umat bertambah menjadi 38 KK.
Alasan mereka untuk segera membeli pertapakan baru ialah karena pertapakan lama itu kurang mendukung suasana peribadatan. Lokasi pertapakan itu sangat dekat dengan rumah-rumah penduduk, sehingga aroma kurang sedap kerap mengganggu peribadatan. selain itu juga kondisi fisik gereja juga sudah memprihatinkan.
Setahun berlalu sesudah pembangunan gereja baru itu, umat memohon bantuan seng sebanyak 40 lembar dari paroki. Permohonan ini dikabulkan, maka atap gereja berganti dari ilalang menjadi seng. Tahun 1974 sampai 1976 gereja ini pernah dipakai menjadi ruang sekolah SD Katolik. Hal itu berlangsung kurang lebih tiga tahun. Sekolah ini adalah cabang dari SD Katolik St. Paulus – Adian Modang. Dan, sebagai guru menetap waktu itu ialah Ungkap Lumban Gaol dan Kasianna br. Sianturi. Pada waktu itu Pengurus Gereja sudah berganti, dengan susunan kepengurusan sebagai berikut: Porhanger : H. Simanjuntak; Sintua : M. Purba, K. Aritonang: B. Sihombing, M. Nababan sedangkan sebagai Pengurus Bangunan adalah R. Lumbangaol.
Dalam perjalanan waktu jumlah umat semakin bertambah. Rentang waktu tiga tahun (1976-1978) umat berjumlah 42 KK, termasuk umat yang tinggal di Pamaratan, karena di Pamaratan gereja Katolik belum ada. Struktur Pengurus Gereja pada periode ini sebagai berikut: Porhanger : M. Gultom; Sintua : M. Purba, B. Sihombing, K. Aritonang, M. Nababan, KR. Sihombing sedangkan Pengurus bangunan : R. Lumban Gaol.
Pada periode ini keluarga G. Simangunsong dan H. Simanjuntak pulang ke kampung masing-masing. Jumlah umat berkurang menjadi 40 KK. Periodisasi terjadi lagi pada tahun 1978. Maka struktur Pengurus Gereja yang terpilih yakni: Porhanger: KR. Sihombing; Wakil Porhanger: M Purba; Sintua : B. Sihombing; K. Aritonang; M Nababan ; Seksi Pembangunan: H.Purba (Ketua), R.Banjarnahor (Sekretaris); M Siregar (Bendahara).
Pada tahun 1979 Seksi Pembangunan memanggil umat untuk bermusyawarah mengenai perehaban gereja karena sudah mulai lapuk. Hasil musyawarah tersebut adalah sebagai berikut: gereja dibangun berukuran 6 x 9 m, atap seng, dinding setengah beton dan lantai tanah. Jumlah dana yang dibutuhkan berjumlah Rp. 1.750.000,- dengan bantuan dari paroki oleh Pastor Arie van Diemen, OFMCap Rp. 500.000,- dan dari umat Rp. 1.250.000,-. Akhir tahun 1979 gereja baru selesai dibangun. Gedung gereja diberkati oleh Mgr. A. G. Pius Datubara, OFMCap. pada bulan April 1980 sekaligus menerimakan Sakramen Krisma.
Pada periodisasi tahun 1981, terbentuk susunan kepengurusan baru sebagai berikut: Porhanger : KR. Sihombing; Wakil Ketua : M Purba; Sintua: B. Sihombing, K. Aritonang, W. Lumban Gaol. Jumlah umat pada periode ini menjadi 30 KK, karena banyak umat yang pindah, termasuk salah seorang sintua, M. Nababan, yang pindah ke Lubuk Pakam. Perpindahan ini diakibatkan oleh banjir yang selalu menggenangi sawah. Untuk dapat melanjutkan pembangunan, maka dibentuklah kelompok Ibu-ibu Katolik atau Punguan Ina Katolik (PIK). Usaha ini cukup berhasil. Dari hasil kerja sama mereka, pada tahun 1982 gedung gereja dapat dilantai semen. Demikianlah keadaan pembangunan selama dua periode ini.
Suasana Peribadatan Hari Minggu |
Pada periode 1984-1987 situasi peribadatan umat berjalan seperti biasa. Akan tetapi, pada masa ini jumlah umat berkurang 2 KK karena pindah manombang ke arah Riau. Susunan pengurus pada periode ini sebagai berikut: Porhanger: W. Lumban Gaol; Wakil Porhanger: KR. Sihombing; Sintua : K. Aritonang, B. Sihombing, M. Purba
Pada periode 1987-1990, jumlah umat berkurang lagi karena pindah ke Bagan Batu. Akhirnya, jumlah umat tinggal 24 KK. Susunan pengurus pada masa ini sebagai berikut: Porhanger: M. Purba; Wakil Porhanger : KR. Sihombing; Sintua : W. Lumban Gaol, B. Sihombing, K. Aritonang.
Pada tahun 1990 diadakan lagi periodisasi pengurus untuk periode 1990-1993, dan terbentuklah susunan kepengurusan sebagai berikut: Porhanger : KR. Sihombing; Wakil Porhanger : W. Lumban Gaol; Sintua : K. Aritonang, B. Sihombing, M. Purba.Pada masa periode ini jumlah umat masih tetap 24 KK. Punguan Ina Katolik (PIK) tetap dipupuk dengan baik. Pada masa periode inilah Sintua B. Sihombing meningal dunia.
Pada periode 1993-1996 jumlah umat berkurang lagi sebanyak 2 KK karena pindah tempat (menombang). Jadi jumlah umat menjadi 22 KK. Pada masa ini diperkenalkan istilah Ketua Dewan Stasi. Susunan pengurus pada periode ini: Ketua Dewan Stasi: KR. Sihombing; Wakil Ketua : W. Lumban gaol; Sekretaris : R. Banjarnahor; Bendahara : H. Gultom; Anggota : K. Aritonang; R. Lumban Gaol; P. Rumapea; T. br Rumahorbo; M. Br. Rumahorbo; S. Silaban. Pada periode inilah Sintua M. Purba meninggal dunia. Pada tahun 1996 sampai dengan tahun 1999, jumlah umat berkurang lagi dan tinggal 20 KK. Susunan pengurus pada periode ini adalah: Ketua Dewan Stasi : W. Lumban Gaol; Wakil Ketua: KR. Sihombing; Sekretaris : P. Rumapea; Bendahara : H. Gultom; Anggota : K. Aritonang, R. Lumban Gaol, D. Sitinjak
Pada tahun 1999-2000, jumlah umat berkurang 1 KK karena menjadi karyawan di PT. Torganda. Jadi, jumlah umat menjadi 19 KK. Dalam tahun 2000 ini bangku diganti sebanyak 16 buah dari swadaya umat, kayunya terbuat dari kayu meranti. Pengurus Dewan Stasi yang terpilih untuk periode ini adalah: Ketua Dewan Stasi : KR. Sihombing; Wakil Ketua : H. Gultom; Sekretaris : D. Sitinjak; Bendahara : S. Silaban; Anggota : K. Aritonang, R. Lumban Gaol, W. Lumban Gaol.
Susunan pengurus pada periode tahun 2004-2007 terdiri dari: Ketua Dewan Pastoral Stasi: KR. Sihombing; Sekretaris: R. Banjarnahor; Bendahara: S. Silaban; Anggota: H. Gultom, W. Lumbangaol, K. Aritonang, R. Lumbangaol. Pada masa ini, persisnya tahun 2005 gereja yang sekarang yang tergolong gereja yang indah dan bersih di rayon pamingke dibangun dan diberkati oleh P. Nelson Sitanggang, OFMCap. Gereja sebelumnya terletak di bagian belakang rumah-rumah penduduk. Dan aroma sekitar berbauk busuk yang menggangu peribadatan. Maka pertapakan gereja yang lama dipindahkan ke tempat yang cukup berjarak dari perkampungan ke sebelah Barat kampung Andian Torop. Dengan berdirinya gereja baru ini, semangat umat juga bertambah.
Masa selanjutnya kepemimpinan diserahkan kepada Bapak H. Gultom sebagai Ketua Dewan Pastoral Stasi (KDPS) dengan wakilnya Ompu Soritua Sihombing (KR. Sihombing). Bendahara : S. Silaban sedangkan para anggota terdiri dari: K. Aritonang, R. Lumbangaol, J. Purba dan J. Tarigan. Pada masa ini tidak terlalu ada perkembangan yang mencolok. Akan tetapi perkembangan kecil-kecil terjadi juga misalnya pendampingan anak-anak sekolah minggu. Sebelumnya perkumpulan dan pendampingan anak sekolah minggu hampir tidak ada tetapi karena KDPS sungguh memberi hatinya terhadap anak-anak ini maka selama periode ini anak asmika selalu berkumpul setiap hari minggu untuk dibina dalam peribadatan. Demikian juga dengan perkumpulan doa rosario pada bulan Maria dan bulan Rosario. Umat selalu berkumpul dan berdoa rosario di rumah-rumah umat secara bergiliran kendati kehadiran umat tidak terlalu menggembirakan.
H. Gultom KDPS 2007-2015 |
Dalam periode ini kegiatan asmika dan perkumpulan doa rosario dilanjutkan. Satu hal yang menggembirakan pada masa ini bahwa para Orang Muda Katolik (OMK) sudah dilibatkan dan melibatkan diri dalam kegiatan menggereja misalnya sebagai petugas-petugas liturgi pada hari Minggu dan kebersihan gereja. Sementara itu pada saat ini penegakan disiplin masuk peribadatan setiap hari Minggu dipertegas. Umat menyepakati agar peribadatan setiap hari Minggu dimulai pukul 10.00 WIB entah berapa pun jumlah umat yang hadir. Dan hal ini cukup menggembirakan. Demikianlah kondisi terakhir stasi Adian Torop yang menurut statistik tahun 2013 berjumlah 17 KK dan 85 jiwa umat.
STASI SANTO ANDREAS KAMPUNG BARU
Pada tahun 1982 bapak R. Sihombing ditempatkan mengajar di Desa Kuala Beringin. Pada awal mula, beliau belum mengetahui sama sekali situasi desa itu. Akan tetapi, beliau tergolong sebagai seorang katolik yang militan. Setelah beberapa hari tinggal di sana perasaannya sangat miris karena di lingkungan sekolah tidak ada orang katolik atau umat Kristen lain. Oleh karena itu beliau berusaha mencari Gereja Katolik terdekat. Akhirnya, dia menemukan Gereja Katolik Stasi Simpang Empat, kurang lebih 5 km dari tempatnya mengajar. Pada awalnya dia mencoba beribadat di gereja Simpang Empat, tetapi karena kondisi hutan dan jarak yang cukup jauh, maka beliau mencari orang-orang katolik di sekitar dengan maksud membuat perkumpulan Katolik.
Gereja Stasi Kampung Baru |
R.Sihombing menemu kan keluarga S. Sitorus dan tiga kepala keluarga lainnya. Sekitar tahun 1988 mereka sepakat untuk mengadakan kebaktian bersama secara katolik di rumah S. Sitorus.Mereka mengangkat Pak S. Sitorus sebagai porhanger.Setelah beberapa bulan anggota mereka bertambah 1 KK, sehingga jumlah umat menjadi 6 KK. Kemudian mereka sepakat untuk membangun gedung gereja secara bertahap. Sebagai langkah awal mereka sepakat untuk mengumpulkan iuran sebesar Rp. 1.000 / 2 minggu.
Pada tahun 1990, umat mendirikan sebuah gereja darurat yang berdinding gedek, beratap nipa, bertiang kayu bulat dan berlantai tanah, dengan ukuran 5 x 6 m. Lokasi gereja berada di samping rumah Bapak B. Siahaan. Pertapakan gereja darurat ini masih berstatus pinjaman sampai ada tanah pertapakan yang dapat dibeli. Bapak B. Siahaan memberi izin karena beliau juga beragama Katolik. Uang iuran dipakai untuk membeli atap, dinding dan paku, sementara tiang dicari dengan bergotong-royong.
Setelah beberapa lama umat bertambah 1 KK, sehingga jumlah umat stasi ini menjadi 7 KK. Seringnya Pastor dan Suster berkunjung ke Stasi Kampung Baru membuat umat semakin bersemangat. Ketika pastor dan suster datang ke Stasi Kampung Baru umat memberi usul pembelian tanah untuk lokasi gereja. Pastor kemudian menugaskan umat untuk mencari lokasi gereja yang cocok. Pada tahun 1995, seorang masyarakat Kampung Baru hendak menjual rumah, yang luas tanahnya adalah 15x30 m. Rumah tersebut berukuran 6x9 m dengan harga pertama Rp 2.500.000,00. Setelah mendapat informasi umat bermusyawarah agar rumah itu dibeli untuk dijadikan gereja. Umat lalu mengutus tiga orang untuk melapor kepada Pastor sesuai dengan janji beliau.
Setelah mendapat persetujuan dari Pastor Simon OFMCap., akhirnya rumah tersebut dibeli dengan harga Rp 2.000.000,00. Namun, umat mengalami peristiwa yang menyinggung perasaan ketika membeli rumah itu. Seorang kepala desa yang bernama M. Ayun (mantan Kepala Desa Kuala Beringin) mengatakan kepada Bapak Manalu, seorang umat katolik Kampung Baru, bahwa rumah itu tidak boleh dijual kepada umat Kristen dan tidak boleh dijadikan untuk gereja. Ketika Bapak Manalu menceritakan hal itu di gereja, banyak umat merasa tidak senang. Akan tetapi pemilik rumah mengatakan bahwa penjualan rumah adalah haknya kepada siapa hendak dijual. Singkat cerita umat pun bermusyawarah lagi agar bergotong-royong memperbaiki rumah itu supaya berbentuk gereja. Dan, keadaan gereja itu pun masih sederhana, berdinding papan dan beratap seng tetapi masih berlantai tanah. Beberapa lama kemudian umat bergotong-royong melantai semen dengan cara membeli semen satu sak per-dua keluarga. Akhirnya, umat pindah gereja setelah bergotong-royong membuat bangku ke gereja yang dibelikan oleh Pastor Simon Sinaga, OFMCap. Setelah pindah ke gereja yang baru, gereja darurat dibongkar dan tanahnya dikembalikan kepada bapak B. Siahaan.
Setelah beberapa lama berada di gereja baru itu jumlah umat bertambah 2 KK. Pada saat itu banyak rintangan yang menghalangi perkembangan stasi Kampung Baru. Apalagi jika hendak diresmikan menjadi anggota baru gereja Katolik, Pastor Josue Stainer, OFMCap mewajibkan umat untuk mengetahui doa-doa pokok. Anggota-anggota baru itu buta huruf dan tidak mau diajari (berlagak pandai). Di samping itu, ada kesalahpahaman anggota-anggota baru terhadap pengurus, sehingga mereka mengundurkan diri dan pindah ke HKBP kembali. Jumlah anggota tinggal 7 KK.
Pada tahun 1996 1 KK umat katolik Kampung Baru pindah ke daerah Pekanbaru yaitu Bapak Manalu. Jumlah umat berkurang sehingga menjadi 6 KK. Beberapa lama kemudian umat bertambah lagi 1 KK, yaitu keluarga Bapak M. Naibaho. Jumlah anggota gereja Stasi Kampung Baru kembali menjadi 7 KK. Dan, pada tahun 1997 keluarga Bapak A. Siahaan (Wakil Ketua Dewan Stasi) pindah ke daerah Kota Pinang. Jumlah umat berkurang lagi menjadi 6 KK. Pada tahun 1998, jumlah umat bertambah lagi 1 KK sehingga kembali menjadi 7 KK sampai sekarang. Mulai tahun 1998, umat membayar iuran sebanyak Rp 4.000 sampai bulan Juli. Setelah itu bertambah lagi menjadi Rp 5.000/bulan yang diperuntukkan bagi pembangunan gereja nantinya.
Struktur kepengurusan periode 2010-2015 Stasi kampung Baru adalah sebagai berikut: KDPS : Sudirman Sitorus ; WKDPS : Tangi Siahaan; Sekretaris: Tionar Sitinjak; Bendahara: Basaria Sitorus. Menurut statistik paroki tahun 2013, jumlah umat sekarang terdiri dari 7 KK dengan 39 jiwa. Kondisi umat sungguh sederhana dalam banyak hal. Semoga atas tuntunan Roh Kudus stasi ini memperoleh angin baru ke masa depan.
RENCANA PEMBANGUNAN GEREJA
KEPANITIAAN
3. Perkiraan
MENGETUK PINTU HATI KEMURAHAN DONATUR
STASI
SANTO PAULUS HARIAN TIMUR
SEJARAH SINGKAT
Pada tahun
1970-an cukup banyak orang-orang dari Samosir dan Tapanuli datang ke daerah
Kualuh Hilir untuk mencari lahan pertanian. Mereka pada umumnya sudah memeluk
agama Kristen. Kurang lebih tahun 1973 mereka membentuk perkumpulan peribadatan
bersama. Dari sekian banyak orang Kristen yang ada, di antaranya terdapat orang
Katolik. Jumlah orang Katolik pada waktu itu sebanyak 10 Kepala Keluarga.
Pada suatu hari orang-orang
Katolik ini mengadakan pertemuan khusus. Dalam pertemuan tersebut mereka
menyepakati untuk membuat peribadatan khusus secara Katolik untuk setiap Minggunya.
Menuju Stasi Harian Timur |
Peribadatan secara liturgis
Katolik untuk pertama sekali diadakan di rumah J. Sinaga (Pak Rapat) yang waktu
itu masih berstatus lajang. Gelar beliau cukup terkenal dengan nama panggilan
“Sibalga Sangku”. Kurang lebih setahun
kemudian tempat berkumpul pindah ke rumah Pak Hotler Manik dan pemimpin ibadat
tetap J. Sinaga.
Pada bulan
Februari 1975 Saudara J. Sinaga diutus ke Paroki St. Pius X Aekkanopan untuk
bertemu dengan P. Arie van Diemen, OFMCap. (Pastor Paroki). Pada kesempatan itu juga J. Sinaga memberikan uang hasil kolekte mereka
selama satu tahun. P. Arie Van Diemen, OFMCap, dengan senang hati menyambut
kedatangan J. Sinaga, serta menerima setoran kolekte mereka. Sebagai
ungkapan dukungan, P. Arie Van Diemen, OFMCap. memberi
kepada J. Sinaga satu Bibel, Buku Ende Katolik dan buku katekese untuk dipergunakan dalam
peribadatan di Harian Timur (Kandang Horbo).
Akhirnya, dengan segala dinamika
permusyawarahan di kalangan umat, gereja yang sangat sederhana dengan ukuran 7 x 9 m didirikan. Pada waktu itu
umat katolik 10 KK itu sudah tinggal
menetap di Harian Timur (Kandang Horbo).
Dengan petunjuk
Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, keluarga Idel Baldus Simbolon
pindah dari Stasi Pamingke ke Stasi Kandang Horbo. Bapak ini sangat terlibat
dan terbiasa dengan pelayanan di gereja
sebelumnya sehingga beliau dengan
senang hati menjadi pemimpin di Harian Timur (Kandang Horbo). Kepemimpinan
beliau berlangsung cukup lama yakni, tahun 1975 – 1995.
Gereja Lama |
Kehadiran keluarga Idel Baldus
Simbolon terutama bapak ini menjadi rahmat istimewa dalam perkembangan jumlah
umat Katolik di Harian Timur (Kandang Horbo). Berkat karya Roh Kudus, tahun
1982 warga katolik sudah mencapai 40 KK. Atas penyemangatan Roh yang sama,
timbullah niat perbaikan gereja. Gedung gereja yang mereka rencanakan berukuran
7 x 12 m. Pada pesta penerimaan Krisma
yang dipimpin oleh Mgr. A.G. Pius Datubara, OFMCap. tahun 1983, diadakan
juga pesta pembangunan gereja lengkap dengan “Gondang Sabangunan”.
Pada tahun 1987, jumlah umat sudah mencapai 50
KK. Dengan semangat, umat bersatu padu
untuk merehab ulang gereja dengan ukuran 7x15 m dengan kondisi gereja semi
permanen. Inilah gereja yang dimiliki umat sampai sekarang. Akan tetapi,
seiring dengan berjalannya waktu, umat juga sepakat untuk tetap mengutip dan
mengumpulkan uang secara pelan-pelan untuk mengantisipasi perkembangan
pembangunan selanjutnya.
Kepemimpinan pun
silih berganti. Bapak Simbolon karena alasan pindah tempat tinggal ke Aek
Kanopan, digantikan oleh bapak L.
Sitanggang atau Amani Bosner Sitanggang.
Kepemimpinan beliau berlangsung sejak tahun 1995 sampai 1999. Kemudian Bapak L. Sitanggang memberikan
tongkat estafet penggembalaan kepada Bapak O. Malau melalui proses periodisasi.
Periode berikutnya, Stasi Kandang Horbo dilayani para pengurus gereja dan
sebagai Ketua Dewan Stasi diemban oleh Bapak
S. Naibaho. Dan sekarang kepemimpinan pelayanan diemban
oleh Bapak M. Siallagan.
Bpk M. Siallagan (KDPS) dengan Ibu |
Perkembangan zaman semakin laju.
Dan, perkembangan ekonomi umat relatif berkembang. Akan tetapi, sangat
disayangkan, perkembangan ini tidak
diikuti oleh perkembangan iman dan cita rasa kekatolikan.
Untuk mengimbangi perkembangan jaman yang tidak seiring dengan semangat
umat untuk mengembangkan kehidupan rohaninya, maka pihak paroki mencoba
mengupayakan berbagai pembinaan dan perberdayaan pengurus melalui:
Sermon-sermon, kursus-kursus dan menggiatkan kelompok-kelompok kategorial
misalnya Perkumpulan Bapak Katolik, Perkumpulan Ibu Katolik, OMK dan Minggu
anak-anak. Selain itu, pendidikan CU juga memiliki andil tersendiri dalam
pemberdayaan dan pembinaan umat.
Kondisi
bangunan gereja yang sungguh memprihatinkan sekarang sungguh tak mendukung
terhadap semangat dan minat umat untuk datang beribadat ke gereja
pada hari Minggu atau pada moment-moment tertentu. Gedung gereja yang ada
sekarang lebih pantas disebut sebagai gudang rongsok yang berbau tak sedap
serta sangat gerah dan panas. Dingdingnya sudah banyak bolong sedangkan
lantainya masih tanah.
Umat stasi Harian
Timur sudah demikian lama merindukan bangunan gereja yang layak pakai. Semakin hari kerinduan
ini semakin terasa dan mereka nyatakan lewat usaha pengumpulan
dana secara bertahap. Kendati secara ekonomis taraf kehidupan perekonomian umat pas-pasan, namun mereka dengan semangat
selalu menyisihkan sebagian dari hasil pendapatan mereka untuk rencana
pembangunan gereja. Hal ini sangat didukung pihak seksi
Pembangunan dan tim pastoral Paroki.
Parokus, Seksi Pemb Paroki dan Panitia Merancang Pembangunan |
Pihak paroki bukanlah pihak yang pertama
dalam pengupayaan pengumpulan dana pembangunan ini tetapi umat itu sendiri.
Kesatuan umat dalam iman, untuk mengupayakan pembangunan ini merupakan dasar
utama pembangunan ini. Dan hal inilah yang selalu ditekankan oleh Seksi
Pembangunan Paroki. Hal ini sungguh diterima seluruh umat, sehingga pada Sidang
Paripurna DPP Paroki tahun pastoral 2012
mendukung sebulat hati rencana pembangunan ini.
Di paroki St. Pius X Aekkanopan ada
ketentuan yang sudah disepakati oleh peserta Sidang Paripurna bahwa untuk
membangun gereja, harus memenuhi beberapa syarat mutlak yakni: Pertama:
Keseluruahan umat memiliki kesatuan dan kekompakan untuk membangun; Kedua:
Wujud dari kesatuan itu tampak dalam mengumpul dana dan memberi partisipasi
yang optimal termasuk tenaga, waktu dan bahan materi bangunan yang diupayakan
sendiri tanpa harus membeli; Ketiga: Kondisi yang memprihatinkan dari berbagai
aspek bangunan. Dari ketiga syarat ini,
tampaknya Stasi Harian Timur
merupakan stasi yang paling memenuhi syarat dibandingkan dengan stasi yang lain, maka atas dasar itulah peserta Sidang Paripurna tahun pastoral 2012 menyetujui perencanaan pembangunan ini.
DPP, Rayon Turun Lapangan |
Seksi pembangunan juga senantiasa
menyadarkan umat bahwa bukan pastor dan DPP yang menjadi pihak yang paling
berkepentingan dalam pembangunan gereja tetapi umat itu sendiri. Demikianlah
dari waktu ke waktu umat dididik untuk semakin mandiri, dewasa,
ulet dan militan. Keyakinan ini merupakan dasar keberanian kami untuk
mengajukan proposal ini kepada berbagai pihak termasuk instansi pemerintah yang
berkenan membantu umat Katolik Harian
Timur.
Semangat untuk memiliki gedung gereja
permanen di Stasi Harian Timur terus bergelora. Sudah sejak 1996, umat dengan setia mengumpulkan dana secara perlahan-lahan untuk rencana pembangunan gereja sampai sekarang. Pada awalnya setiap keluarga dikenakan iuran Rp 20.000
per bulan dan mengumpulkan 2 kaleng beras per tahun. Dari dana yang terkumpul,
umat membeli sebidang tanah untuk menjadi kompleks gereja baru yang mereka
idam-idamkan.
Alasan perpindahan itu karena lokasi
gereja lama kurang mendukung kegiatan
peribadatan. Di samping karena luas pertapakan gereja
sempit, bangunan gereja lama ini berdampingan langsung dengan rumah-rumah
penduduk yang terkesan sangat kumuh dan berbau kotoran ternak. Demikianlah
akhirnya pada tahun 2004, umat membeli lahan baru dengan ukuran 50 x 80m.
Lahan Pertapakan Baru |
Setelah lahan dibeli, umat dengan segala
kekurangannya tetap rela memberi sumbangan wajib per kepala keluarga serta
sumbangan sukarela. Sebagai tanda keseriusan umat dalam rencana pembangunan
ini, umat yang miskin ini rela menyepakati sumbangan per kepala rumah tangga Rp
1.000.000.
Pada sidang paripurna Dewan Pastoral
Paroki tahun 2006, stasi ini sudah mengusulkan rencana pembangunan gereja
mereka. Akan tetapi karena stasi yang lain jauh lebih siap sesuai dengan kriteria yang berlaku di Paroki St. Pius X
Aekkanopan maka dengan segala kesabaran mereka harus menunggu sambil berupaya
memenuhi segala kriteria tersebut di atas.
Akhirnya dengan
berbagai pertimbangan dan melihat segala usaha keseriusan umat stasi ini maka
peserta Sidang Paripurna Dewan Pastoral Paroki tahun 2012 memutuskan bahwa
stasi St. Paulus Harian Timur mendapat giliran pembangunan gereja untuk tahun
2013. Rencana peletakan batu pertama direncanakan bulan Mei 2013 dengan harapan
bahwa dengan bantuan Tuhan melalui kemurahan hati berbagai pihak maka
pembangunan dimulai.
ALASAN
DAN TUJUAN
Secara implicit,
dalam pemaparan di atas apa yang menjadi alasan dan tujuan proposal
ini kiranya sudah termaktub. Akan tetapi agar lebih jelas dan terperinci serta
lebih masuk akal dan meyakinkan maka berikut ini kami akan uraikan poin per
poin :
a.
Melihat dari usia gedung
gereja sudah mencapai 19 tahun dan sejak diresmikan tahun 1989 belum pernah
dibenahi sampai sekarang maka sudah barang tentu pembenahan dibutuhkan yang
pelaksanaanya secara bertahap.
Kondisi Interior Gereja Lama |
b. Sangat dekat dengan alasan
dalam poin pertama, bahwa daya muat gedung yang sekarang sudah sangat menuntut pembangunan
baru, karena pertambahan jumlah umat
yang sangat signifikan dan kehadiran umat
ke gereja yang semakin
menggembirakan.
c.
Dengan sadar, melalui pembangunan
gedung gereja ini umat secara optimal diupayakan memberi partisipasi baik
melalui materi, tenaga, buah pemikiran seturut kemampuan mereka sebagai jalan
untuk semakin memiliki semangat kemandirian hidup meng-Gereja sebagaimana
tertuang dalam visi – misi Paroki dan KAM.
d.
Untuk lebih menciptakan suasana
teduh dalam gereja sebagai salah satu tempat bersama untuk bertemu dengan Tuhan sebagai saudara-saudari seiman. Hal ini
merupakan salah satu jalan untuk sampai kepada penunaian misi paroki yakni
menyuburkan hidup rohani dan memperkuat tali persaudaraan.
e.
Untuk sederap bersama komisi
liturgi KAM yang beberapa tahun terakhir ini semakin memperhatikan
keanggunanan, kesakralan dan bina
liturgi umat sebagai salah satu jalan meningkatkan kecintaan dan
kerinduan menerima sakramen-sakramen dalam Gereja.
f.
Untuk memenuhi kebutuhan para
pengurus Gereja awam yang cukup rutin berkumpul di paroki sekurang-kurangnya
sekali dalam 4 bulan. Untuk mempersiapkan diri dalam menjalankan
bahwa Aekkanopan sudah resmi menjadi Pusat
Kevikepan yang baru.
h.
Untuk lebih menjadikan bangunan
gereja menjadi satu kesatuan yang layak pakai dan laik lutirgis.
Susuanan
Kepanitiaan:
Pelindung: P. Hiasintus Sinaga, OFMCap. (Pastor Paroki); Penasehat: Mangampetua
Manalu (Pelaksana I DPP); Penanggung-jawab : Nelson Simanjuntak (Ketua Seksi Pembangunan
Paroki); Ketua Pelaksana: Batver Bonipansius Manik; Sekretaris: Ranto Sitanggang ; Bendahara I: P. Oscar Tober, OFMCap. (Ekonom
Paroki); Bendahara II: Nasib Sidabutar; Anggota : Budi Situmorang, : Herman Samosir, : Benny Sitanggang
Ketua Panitia dengan Mgr. Pius |
1. Kinerja Panitia
· Secara koordinatif semua
panitia, mulai dari pelindung sampai ke anggota-anggota bahkan sampai ke tengah
umat dan para donatur bekerjasama dengan
pembagian tugas yang jelas.
· Tugas pertama dari panitia
mencari penggambar dan arsitektur kemudian mempelajarinya sampai tuntas lengkap
dengan taksasi serta analisa biaya keseluruhan perehaban.
· Panitia membuat Surat Kontrak
Kerja dengan pihak tukang
yang ditandatangani di atas kertas bermeterai.
· Panitia mengawasi pelaksanaan
bangunan dengan tetap bekerja sama dengan konsultan bangunan.
· Secara rutin panitia mengadakan
rapat untuk mengetahui secara bersama sejauh mana usaha panitia berjalan atau mengalami
kemacetan dan kebuntuan.
· Atas usaha dan kerjasama
panitia, semua umat dan pihak-pihak yang berkaitan dengan stasi ini mesti
terlibat dalam upaya penyelesaian pembangunan
ini sebagai bukti dukungan kongkrit pengembangan hidup meng-Gereja.
·
Transparansi dan akuntabilitas
keuangan harus terjamin dengan baik.
· Setiap kali tahapan pembangunan selesai, panitia mesti
mempertanggungjawabkannya kepada anggota Sidang Paripurna DPP.
PENDANAAN
1. Sumber Dana
a. Sumber dana yang
pertama tentulah dari umat se-stasi induk dengan membuat iuran per Kepala
Keluarga sampai pembangunan selesai.
b. Usaha kerajinan
Panitia dan dewan stasi dan para pengurus lingkungan untuk menghasilkan dana.
c.
Kolekte khusus
pembangunan stasi.
d.
Para donatur dari
paroki terutama dari stasi Harian Timur.
e.
Pengedaran
proposal kepada para perantau dan para donatur luar paroki St. Pius X
Aekkanopan.
f.
Proposal kepada
instansi-instansi dan perusahaan-perusahaan yang memungkinkan.
g.
Partisipasi
Keuskupan Agung Medan.
h.
Partisipasi dari DSAK-KWI
i.
Gerakan Rp 1.000
per minggu per Kepala Keluarga dengan membuat “Kantong Panitia” yang dibagikan
kepada setiap rumah tangga di Stasi Harian Timur yang lamanya berjalan sampai pembangunan
tuntas.
2. Taksasi Dana
NO
|
URAIAN PEKERJAAN
|
JUMLAH HARGA (RP)
|
I
|
PEKERJAAN PERSIAPAN, GALIAN DAN URUGAN
|
32,032,407.00
|
II
|
PEKERJAAN PONDASI DAN BETON
|
162,637,698.00
|
III
|
PEKERJAAN PASANGAN DAN PLESTERAN
|
95,307,167.50
|
IV
|
PEKERJAAN LANTAI DAN DINDING
|
14,469,700.00
|
V
|
PEKERJAAN ATAP
|
63,029,133.20
|
VI
|
PEKERJAAN PLAFON
|
30,980,899.60
|
VII
|
PEKERJAAN KUSEN PINTU DAN JENDELA
|
29,414,726.00
|
VIII
|
PEKERJAAN PERLENGKAPAN PINTU DAN JENDELA
|
7,878,630.00
|
IX
|
PEKERJAAN INSTALASI LISTRIK
|
15,767,350.00
|
X
|
PEKERJAAN PENGECATAN
|
19,508,128.30
|
XI
|
PEKERJAAN LAIN-LAIN
|
9,156,250.00
|
JUMLAH
|
480,182,089.60
|
|
DIBULATKAN
|
480,182,000.00
|
|
MOBILISASI & DEMOBILISASI PERALATAN,MATERIAL &
MAN POWER
|
30,179,438.70
|
|
JUMLAH BIAYA LANGSUNG
|
510,361,438.70
|
|
BIAYA TIDAK LANGSUNG (EQUISITAS 1 per Seratus, 6
bulan) = 0.06
|
37,639,156.10
|
|
JUMLAH BIAYA SELURUHNYA
|
548,000,594.80
|
|
DIBULATKAN
|
548,000,000.00
|
3. Perkiraan
Biaya total pembangunan Gereja Rp 548.000.000
Partisipasi umat yang telah terkumpul Rp 230.000.000
Gotong Royong Rp 10.000.000
Dari Keuskupan Agung Medan Rp 75.000.000
Partisipasi DSAK-KWI Rp 15.000.000
Paroki Rp. 10.000.000
Rayon Rp 5.000.000
Dana yang masih harus dicari Rp 203.000.000
MENGETUK PINTU HATI KEMURAHAN DONATUR
Menghitung masih banyaknya
dana yang dibutuhkan dalam pembangunan gereja ini, dengan rendah hati paitia
dan umat datang mengetuk pintu kemurahan hati para
donatur untuk sudi kiranya
membantu dalam menyelesaikan pembangunan
gereja ini. “Sekecil apa pun bentuk dan ungkapan dukungan tulus dari saudara-saudari,
itu sangat berarti bagi kami dan demi pembangunan dan perkembangan umat Allah.”
Demikian ungkapan panitia dalam mengedarkan proposal pembangunan gereja yang
dimaksud.
Rancangan Dalam Proposal |
Dukungan para donatur boleh dialamatkan secara langsung kepada
kami P. Oscar Tober Sinaga, OFMCap. sebagai ekonom atau pastor Hiasintus
Sinaga, OFMCap. pastor paroki St. Pius X Aekkanopan di Pastoran Katolik Jl.
Serma Maulana Siregar 48 Aekkanopan Labuhan Batu Utara Sumut Indonesia dengan
nomor kontak : P. Oscar Tober Sinaga, OFMCap (085371715312) atau P. Hiasintus
Sinaga, OFMCap. (081362347228). Bantuan dan dukungan boleh juga disalurkan melalui Bank Mandiri
KCP Aekkanopan 10707; Nomor Rekening: 107-00-0646244-6 Atas Nama Yakintus
Sinaga (Pastor Paroki Aekkanopan).
TEKAD BULAT
Perlahan-lahan
dengan segala bentuk kesusahannya, pembangunan berjalan juga. Pihak paroki, rayon
Kualuh, panitia dan umat keseluruhan bergandengan tangan dan menyatukan tekad
untuk menyelesaikan pembangunan tersebut walau selalu ada pihak-pihak tertentu
dari kalangan umat sendiri yang bersikap miris.
Setelah
diadakan perhitungan dalam rapat tersebut maka untuk menutupi utang kepada
tukang dan perincian dana yang harus
dicari untuk perampungan bangunan maka panitia harus mengupayakan dana kurang
lebih Rp 200.000.000. Maka untuk ini perlu pendekatan khusus kepada tukang agar
bersabar dengan utang Rp 99.300.000. Tukang pun dengan segala kebaikan dan
pengertiannya menerima pendekatan itu dengan ketentuan agar segera setelah
pesta pemberkatan dan penggalangan dana untuk pembangunan, utang dilunasi. Sementara dana untuk
perampungan bangunan kurang lebih 99.700.000 harus diupayakan segenap umat
dengan meminjamkan duit mereka kepada panitia / stasi.
Peletakan Batu Pertama |
Kerangka Atap Baja Ringan |
Memang
betul, jika ada kebersamaan yang didasari niat baik dan tulus apapun dapat
dihadapi. Mengapa? Ketika pembangunan gereja sudah sampai tahap 60 %, dana
betul-betul sudah kandas. Kalau diberhentikan untuk sementara waktu akan
semakin menambah kerugian karena tukang meninggalkan tempat dan membawa segala peralatannya. Akhirnya
untuk menyikapi kesulitan ini, pastor paroki, ekonom paroki dan seksi pembangunan memanggil, panitia
pembangunan dan pengurus gereja stasi untuk rapat pada tanggal 02 Mei 2014.
Pembangunan Berjalan 60 % |
Syukur
kepada Tuhan atas dasar niat baik dan tekad bulat bersama untuk merampungkan
bangunan maka sebagian besar umat meminjamkan duit mereka seturut kerelaan dan
kemampuan mereka. Akhirnya sambil
meneruskan perampungan bangunan, seluruh umat, panitia pihak rayon dan paroki
sungguh-sungguh mempersiapakan pesta pemberkatan dan sekaligus penggalangan dana.
Maka pesta dan penggalangan dana dirancang untuk 2 hari yakni tanggal 03-04
Agustus 2014. Pada hari pertama pesta, Minggu, 03 Agustus 2014, Mgr. Emeritus Pius Datubara, OFMCap memberkati
gereja dan setelah pemberkatan dilanjutkan penggalangan dana. Undangan pada
hari pertama ini diprioritaskan kepada umat katolik serayon kualuh dan undangan
khusus dari paroki. Sedangkan untuk hari kedua, Senin, 04 Agustus undangan lebih
dialamatkan kepada gereja-gereja
tetangga dan pihak-pihak masyarakat, pemerintahan dan pengusaha.
Gereja Baru |
Sungguh
Tuhan berkarya dalam diri umat yang dengan segala pengabdian dan ketulusan hati
serta semangat kerja yang tinggi dalam rangka penggalangan dana ini. Dengan
kepuasan tersendiri umat bergembira dengan hasil penggalangan dana Rp
127.614.000. Mengingat kondisi
perekonomian umat dan masyarakat sekitar rasa-rasanya jumlah perolehan dana itu
merupakan jumlah yang spektakuler.
Rasa
syukur dan kegembiraan ini sangat terasa ketika diadakan misa pertama dalam
gereja baru pada tanggal 14 Agustus 2014. Pada saat ini juga acara istimewa
diselenggarakan untuk menghormati tukang dengan gaya adat Batak Toba. Semoga kegembiraan dan kebersamaan ini
semakin subur ke depan hari dan iman umat semakin bertambah demikian pihak
rayon, seksi pembangunan paroki dan pastor paroki sendiri memberi pesan bagi
umat dalam acara yang sangat istimewa ini.
GALERI FOTO
GALERI FOTO
Pemberkatan Gereja, Altar, Salib dan Patung Bunda Maria |
Ekaristi Pemberkatan (Penyerahan Kunci Gereja) |
Tarian Penyambutan dalam Ekaristi Pemberkatan Gereja |
Pengimaman |
Suasana Ekaristi Waktu Pemberkatan Gereja |
Berpose Setelah Misa Perdana Dalam Gereja Baru |
Memberangkatkan Tukang |
STASI ST. ANTONIUS DARI PADUA PARDAMARAN
Gereja Katolik
Pardamaran berdiri pada tahun 1964. Proses pendirian stasi ini diprakarsai oleh
para panombang (perantau) yang datang
dari daerah Samosir, yang sebagian besar berasal dari Pangururan dan membuka
lahan di sana. Pada tahap awal umat
berjumlah 10 KK dan beribadat di rumah bapak A. Simbolon. Supaya kelompok ini
dapat terorganisir dengan baik, mereka sepakat memilih para pengurus. Mereka
yang terpilih adalah: bapak A. Simbolon menjadi Porhanger, J. Buaton sebagai
Bendahara dan J. Sinambela sebagai Sekretaris.
Gereja Stasi St. Antonius Padua Pardamaran |
Segera
setelah izin mendirikan gereja diperoleh, umat bergotong royong untuk mencari
kayu, yang akan dipakai sebagai bahan bangunan. Selama satu bulan umat bekerja
keras untuk mengumpulkan kayu dan usaha mereka membuahkan hasil. Akhirnya
mereka berhasil mendirikan gereja berukuran 6x5 meter2.
Atap bangunan gereja terbuat dari ilalang, dinding dari tepas, dan bangku dari kayu bulat. Pada saat itu mereka masih
memakai ungkapan “asal ma jo adong.” (Yang
penting, gereja ada) Soal bagaimana kondisinya, itu merupakan prioritas kedua.
Pada tahun 1965,
jumlah umat semakin bertambah, karena makin banyak panombang yang datang dari berbagai daerah. Jumlah umat sudah mencapai
25 KK. Bertambahnya jumlah umat menjadi pendorong bagi umat stasi Pardamaran
untuk semakin giat dan aktif dalam kehidupan menggereja. Mereka memberitahukan
keberadaan stasi Pardamaran ke Paroki Kisaran, dan Pastor Paroki menyambut baik
kehadiran mereka dan memberi semangat kepada mereka.
Pengimaman |
Pada
tahun 1969 umat stasi Pardamaran mengadakan periodisasi pengurus dan
terpilihlah bapak J. Sinambela sebagai Porhanger. Akan tetapi sebelum masa
jabatannya berakhir, bapak J. Sinambela memilih untuk pulang ke Kampung halaman
dan bapak J. Buaton menjadi Porhanger sementara di stasi Pardamaran. Umat
melihat bahwa bapak J. Buaton cukup baik dalam memimpin stasi Pardamaran, maka
mereka sepakat untuk menjadikan beliau sebagai Porhanger di stasi tersebut.
Bila pada tahun
1965 jumlah umat hanya berkisar 25 KK maka pada tahun 1973 jumlah umat sudah
mencapai 45 KK. Gedung gereja yang ada tidak sanggup lagi menampung umat yang
sedemikian banyak itu. Atas dorongan dari P. Arie van Diemen, OFMCap, umat bersama-sama membangun
gedung gereja yang lebih layak pakai dan ukuran yang lebih besar, yang
diharapkan cukup menampung semua umat yang ada di Pardamaran. Demikianlah
akhirnya pada tahun 1975 gereja yang mereka harapkan itu dapat berdiri dengan kokoh. Gereja yang baru
itu berukuran 8x9 m2,
berlantai semen, dinding terbuat dari papan, beratap seng dan bangku terbuat
dari papan. Ketika gedung gereja ini dibangun yang menjabat sebagai vorhanger
adalah bapak J. Pandiangan.
Susana Perayaan Ekaristi Hari Biasa |
Pada
tahun 1992, Porhanger A. Naibaho mengajak seluruh umat berkumpul dan
membicarakan perehaban gereja, karena sudah tidak layak pakai (papan sudah
mulai lapuk dan seng sudah bocor) dan tidak lagi layak tampung. Bapak A.
Naibaho membuat Surat Permohonan kepada Pastor Paroki (P. Simon Sinaga,
OFMCap.) dan permohonan tersebut diteruskan Pastor Paroki ke Keuskupan. Sebagai
keteguhan hati dan kesatuan umat, mereka mengumpulkan iuran (guguan)
sebesar Rp. 1.000.000/KK. Sistem pengumpulan iuran adalah dengan cicilan per bulan. Usaha pengumpulan dana
ini berlangsung hampir selama 6 tahun. Akhirnya pada tahun 1998 umat stasi
Pardamaran berhasil mendirikan gereja permanen dengan ukuran 8x10 m2. Akan tetapi perehaban
gereja menjadi permanen bukan jaminan pertambahan umat akan tetap semakin baik.
Pada tahun-tahun selanjutnya umat stasi Pardamaran semakin berkurang menjadi 20
KK. Banyak keluarga yang pindah untuk mencari kehidupan perekonomian yang lebih
baik. Beberapa dari mereka kembali ke Kampung halaman (Bona Pasogit) dan sebagian lagi mencari tanah panombangan yang baru, di antaranya ada yang pindah ke Hau Napitu
dan Pinggol Toba.
Umat berpose bersama P. Hiasintus Sinaga |
KDPS Bpk. D. Naibaho |
Bapak D. Naibaho
kembali terpilih menjadi Porhanger pada tahun 2010 hingga 2015 nanti. pada masa
kepemimpinannya saat ini umat tinggal 18 KK. Pada saat ini, sebagai satu stasi,
stasi Pardamaran masih tergolong stasi yang aktif dan hidup. Akan tetapi
tampaknya membutuhkan perhatian ekstra, karena sebagian umat sudah semakin
jarang datang ke gereja dan minat terhadap hidup menggereja semakin turun.
Meskipun demikian kegiatan pembinaan ASMIKA masih tetap berjalan. Demikian
halnya PIK masih tetap aktif dan memberi perhatian untuk mengembangkan Gereja.
Para Pengurus Bersama P. Hiasintus |
Susunan
Porhanger/KDPS dari tahun ke tahun sebagai berikut: Tahun 1964-1969: A. Simbolon; 1969-1972:
J. Sinambela; 1972-1976: J. Buaton; 1976-1989: J. Pandiangan; 1989-1991: S.
Ginting; 1991-1998: A. Naibaho; 1998-2001: M. Sinaga; 2001-2005: A. Naibaho; 2005-2010:
D. Naibaho; 2010-2015: D. Naibaho
STASI SANTO AGUSTINUS LALANG BUNDAR
Gereja Katolik Lalang Bundar secara
resmi berdiri pada
13 Maret 1970. Umat Katolik Lalang Bundar
sebagian besar merupakan pindahan dari Bandar Betsy Afdeling 37. Pada tahun 1969
terjadi pergolakan di daerah perkebunan Bandar Betsy. P. Westenberg, OFMCap
membantu umat Katolik untuk keluar dari pergolakan dan memfasilitasi
perpindahan mereka ke daerah Aekkanopan, tepatnya di wilayah Lalang Bundar. Jumlah
umat yang pindah dari Bandar Betsy ke Aekkanopan sekitar 10 KK.
Di Lalang Bundar sendiri sudah ada keluarga Katolik
berjumlah 3 KK, ditambah lagi 2 keluarga yang pindah dari Tiga Dolok. Umat dari
Bandar Betsy membawa bahan-bahan bangunan gereja yang dibongkar dari Bandar
Betsy. Maka setelah mereka mendirikan pemondokan, mereka sepakat untuk
membangun gereja dari bahan bangunan yang mereka bawa. Maka mereka bergotong
royong untuk mendirikan gereja. Selama pembangunan gedung
gereja yang pertama, ibadah dilangsungkan di rumah Op. Pirior. Pada saat itu,
Op. Serli Tamba (Markus Tamba) menjabat sebagai
Porhanger, dibantu Liberti Simbolon dan Peris Sihotang.
Usaha mereka untuk membangun gereja tidak sia-sia. Pada akhir tahun 1970, gereja darurat berdiri,
berukuran 7x5
m, tiang
terbuat dari kayu
bulat dan beratapkan seng. Pada saat itu, jumlah
umat sudah mencapai 20 KK.
Pada periodisasi selanjutnya, tongkat estafet
kepemimpinan beralih dari Op. Serli Tamba ke tangan Peris Sihotang, dibantu
oleh Liberti Simbolon, Bulus Samosir, dan Firman Sinaga (Bendahara). Setelah
masa jabatan Peris Sihotang berakhir, tongkat estafet kepemimpinan beralih ke
tangan Liberti Simbolon, dibantu Firman Sinaga, K. Nainggolan, Bettus Sinaga
dan B. Sihombing. Jumlah umat tetap 17 KK.
Pada periodisasi berikut terjadi perubahan pimpinan ke
tangan B. Sihombing, dan selanjutnya ke tangan K. Nainggolan. Pada masa
kepemimpinannya, bapak K. Nainggolan dibantu oleh Bettus Sinaga, Firman Sinaga
(Bendahara) dan Robinson Simbolon. Selanjutnya K. Nainggolan digantikan oleh
Firman Sinaga, sebagai Porhanger, dibantu
Bettus Sinaga dan Robinson Simbolon. Sesudah bapak Firman Sinaga, jabatan
Porhanger dipegang oleh Bettus Sinaga dari tahun 1 Okober 1996 sampai 30
September 1999.
Suasana Peneguhan Nikah |
Pada
masa kepemimpinannya Firman Sinaga (Op. Andri) menggerakkan
umat untuk mengadakan perehaban gereja. Maka pada tahun 1998, gedung
gereja direhab dan berdirilah gedung gereja permanen. Ketika itu,
P. Simon Sinaga, OFMCap menjabat sebagai pastor paroki. Gedung gereja yang baru
itu berukuran 7 x 12 m.
Pada tahun 1999 terjadi periodisasi pengurus. Jabatan porhanger
jatuh ke tangan Robinson Simbolon. Beliau
menjabat sebagai Porhanger sampai 1
Oktober 2002. Beliau dibantu oleh Bettus Sinaga, Maralo Sihotang, Mianna br.
Pandiangang (Bendahara) dan Domen Silalahi. Jumlah umat pada periode ini mencapai 26 KK. Kepemimpinan
bapak Robinson Simbolon berlangsung selama dua periode. Periode kedua dimulai
dari 1 Desember 2002 sampai 1 Desember 2005. Tahun 2005, 1 KK umat pindah ke gereja
HKBP (Darwin Silaban) sehingga jumlah umat menjadi 25 KK.
Pada tahun 2005 terjadi perubahan aturan masa jabatan Porhanger menjadi 5 tahun. Maka Robinson
Simbolon menjabat sebagai Porhanger sampai
tahun 2007. Pada
tahun 2006, umat bertambah 1 KK lagi (yakni Op. Resa
Situmorang dari Pentakosta) sehingga jumlah umat kembali
menjadi 26 KK.
KDPS, Bpk. Domen Silalahi |
Masa jabatan Porhanger berubah lagi menjadi
3 tahun. Maka kepemimpinan Domen Silalahi (Porhanger yang menggantikan Robinson Simbolon) berlangsung dari 9 September 2007
hingga tahun 29 Agustus 2010. Pada tahun 2010 umat bertambah lagi
1 KK,
yakni A. Detia Silaban dari
Stasi Jambur Damuli, sehingga jumlah umat menjadi 27 KK.
Periodisasi 29 Agustus 2010 Domen
Silalahi terpilih
lagi sebagai Porhanger (KDPS) untuk
periode kedua hingga tahun 2015 yang akan datang. Dari data statistik
2012, jumlah umat Katolik
di Stasi Lalang Bundar mencapai 27 KK.
STASI MARJANJI ACEH
Stasi Marjanji Aceh dan Bandar
pualu dahulu bersatu di Gereja Okuimene Kebun Bandar Pulau. Namun, gereja
tersebut terbakar.
Oleh karena itu umat di Marjanji Aceh
memulai paribadatan sendiri, dengan meminjam tanah pertapakan dari
bapak B. Silalahi.
Gereja Stasi Marjanji Aceh Yang Lapuk |
Setelah pertapakan tersebut diperoleh, umat bermusyawarah untuk bergotong royong mengambil
kayu ke hutan. Pada masa itu jemaat Marjanji
Aceh berjumlah 11 KK.
Karena dana untuk membeli peralatan
bangunan (seperti paku, atap nipah, dan peralatan lain) tidak mencukupi,
maka umat diminta untuk memberikan
sumbangan (guguan per-KK), akhirnya,
pada tahun
1989, gedung gereja berukuran 4x5 m
dapat berdiri. Setelah pembangunan gereja selesai, umat memilih
porhanger dan terpilihlah bapak B. Sitanggang. Setelah berjalan 5
tahun 1 KK pindah dari
Marjanji Aceh. Dua tahun
kemudian, 5 KK
keluar dari gereja. Satu tahun kemudian gereja hasil gotong-royong tersebut
hancur ditiup angin karena keadaannya tidak kokoh. Namun, tanah pertapakan
sudah dapat dibeli dengan hasil partisipasi dari
umat yang masih bertahan (5 KK).
Sesepuh: Bpk Harjokard Hutapea |
Atas
semangat persaudaraan penuh kasih, akhirnya para peserta sermon yang adalah
utusan pengurus gereja setiap stasi serayon Asahan menyepakati untuk
menyelenggarakan Pesta Paska sambil penggalangan dana di Stasi Marjanji Aceh ini
pada tanggal 27 April 2014. Penyelenggaraan
Pesta Paska dan penggalangan dana ini mengukir sebuah ingatan yang rasanya
tidak bisa dilupakan bayak orang karena berketepatan pada tanggal itu Ibu Diana
Br. Sitanggang Mertua dari Bpk. KDPS Bitner Silalahi meninggal dunia. Ibu ini
merupakan istri dari Bpk. Harjokard Hutapea sebagai tokoh umat Marjanji Aceh.
Selanjutnya,
dengan berkat Tuhan Yang Maha Kasih, ada seorang pemuda yang bermarga Simanjorang, pegawai BRI, merasa prihatin melihat
keadaan gereja yang sudah hancur tersebut. Dengan ikhlas beliau menyumbangkan
bahan berupa batu, semen dan pasir. Setelah itu jemaat yang 5 KK bermusyawarah untuk mencari dana pinjaman berupa
uang dari S.Simanjuntak. Dana tersebut digunakan untuk membeli seng dan paku. Pastor Simon Sinaga, OFMCap membelikan satu set chain saw untuk digunakan mengambil kayu
berupa broti dan papan. Setelah kayu tersebut diperoleh, jemaat bersama-sama untuk mengangkat kayu dari
hutan ke jalan yang dapat dilalui mobil.
KDPS: Bpk Bitner Silalahi |
Umat Stasi 5 KK |
Pembacaan Berita Acara oleh Bpk Bernard B. Sinaga |
Pada tanggal 04 Juli 2014
penyelenggaran pesta dievaluasi dan dipertanggung jawabkan dalam Sermon Rayon
Asahan. Semua peserta Sermon Rayon, baik pihak stasi-stasi maupun pihak DPP
sangat mengapresiasi kegigihan dan keseriusan semua umat yang hanya 5 KK ini
teristimewa kerja keras keluarga Bapak Bitner Silalahi. Kendati dalam keadaan
berkabung, mereka tetap sepenuh hati mengurus segala yang perlu untuk pesta
tampa melupakan urusan keluarga yang sedang berkabung. Dan untuk menghibur keluarga
yang berkabung, segera setelah pesta selesai, umat serayon dan Dewan Pastoral
Rayon dan DPP pergi melayat ke rumah yang sedang berkabung. Semoga arwah ibu
Diana Br. Sitanggang beristirahat dalam ketentraman abadi dan menjadi pendoa
dari surga bagi kita semua.
Bpk Sukarman : Menandatangani Berita Acara |
Dalam Sermon Rayon (04 Juli
2014) di atas dibicarakan juga usulan dari berbagai pihak termasuk dari paroki
untuk menyatukan Stasi Bandar Pulo ke Stasi Marjanji Aceh. Alasan mendasar
penyatuan ini adalah antisipasi keberlangsungan hidup dari Stasi Marjanji Aceh
yang makin lama makin mengecil. Sementara itu, umat Bandar Pulo yang hanya
memiliki umat 13 KK belum juga memiliki gereja milik mereka sendiri. Umat
Bandar Pulo selama ini hanya memiliki gereja oikumene PTPN III secara umum
menyambut baik usulan ini. Dengan demikian maka dalam Sermon Rayon tersebut
diputuskan untuk menyatukan kedua stasi ini pada tanggal 31 Agustus 2014.
Sebagian umat dari Bandar Pulo |
Pose Umat Merger Dua Stasi |
Setelah pembentukan kepanitiaan
ini, pastor paroki kembali mengingatkan kepada para pengurus gereja baik dari
Bandar Pulo dan Marjanji Aceh agar dengan semangat kerjasama dalam melayani
umat stasi yang baru dipersatukan ini. Kepengurusan Dewan Pastoral Stasi
Marjanji Aceh sebagai berikut : Bpk. Bitner Silalahi (KDPS); Bpk. Hendri Panjaitan (WKDPS); Maria Tiurma
Rumahhorbo (Sekretaris); Suyono (Bendahara); Heddin Manullang (Anggota). Sedang
kepengurusan Stasi Bandar Pulo terdiri dari: Sukarman (KDPS); H. Simbolon
(WKDPS); Imelda Br. Sihaloho (Sekretaris); Tiorli Sinaga (Bendahara); Johanes
Suparmadi (Anggota), Laurentius Sitanggang (Anggota), Humala Panjaitan
(Anggota), Mikael Pakpahan (Anggota).
Pihak Dewan Pastoral Rayon Asahan Memimpin Pembentukan Panitia |
Berikut ini susunan kepanitian
pembangunan gereja Stasi Marjanji Aceh: Pelindung: Pastor Paroki St. Pius X Aek
Kanopan (RP. Hiasintus Sinaga, OFMCap); Penasehat : Pelaksana I DPP (Mangampe
Tua Manalu); Penanggungjawab : Ketua Seksi Pembanguan Paroki (Nelson
Simanjuntak); Ketua Pelaksana : Sukarman; Wakil: Humala Panjaitan; Sekretaris:
Imelda Agustina Br. Haloho; Bendahara: Maria Tiurmaida Rumahorbo; Anggota:
Henry Panjaitan, Suyono Nainggolan, Sona Viranita Chacualiasing.
STASI
MAKMUR BERSAMA
Menuju Stasi Makmur Bersama |
Pada tahun
1976 daerah Aekkuo atau
Kualabangka sekitarnya lahan pertanian dibuka oleh para perantau (panombang) yang datang dari berbagai daerah Tapanuli.
Mereka membentuk perkampungan baru. Perkampungan baru ini cukup berjauhan
dengan perkampungan lain yang warga masyarakatnya beragama Islam. Pada awalnya
selama kurang lebih 2 (dua) tahun para
perantau masih memiliki dua tempat tinggal atau “mardua huta”. Satu tempat asal darimana mereka datang dan
yang kedua perkampungan baru di Aekkuo. Namun,
setelah perkampungan baru sudah mulai layak huni dan lahan-lahan yang mereka olah
sudah
mulai menghasilkan, mereka mulai menetap di perkampungan yang baru.
Gereja Stasi Makmur Bersama |
Pada tahun 1980, orang-orang Katolik yang berjumlah 5 KK
memisahkan diri dari kumpulan tersebut. Pada awalnya kelima keluarga katolik ini bergabung dengan Stasi Tangkahan
Habeahan. Pada waktu itu Bapak
Panjaitan menjabat sebagai porhanger di sana. Akan tetapi, setahun kemudian,
karena sulitnya jalan untuk pulang-pergi
dari Tangkahan Habeahan ke Tangkahan Lanteung maka mereka memutuskan untuk
beribadat sendiri di Tangkahan Lanteung.
Peribadatan Dalam Gereja |
Peribadatan di Tangkahan
Lanteung dimulai di
rumah Bapak Lasrida Lingga. Hal itu berlangsung kurang lebih dua tahun.
Porhanger mereka yang pertama ialah Bapak Denni Sitio yang tergolong masih
sangat muda. Dari waktu ke waktu mereka setia berkumpul. Niat untuk membangun
gereja semakin besar.
Akhirnya,
Oppu Rondang Siringoringo (alm.) merelakan tanah seluas satu rante untuk pertapakan gereja. Sementara umat yang lain menyumbangkan papan, broti dan atap seng. Sekte yang lain
memberi sumbangan mereka juga.
Biaya-biaya pembangunan lain disepakati menjadi tanggung jawab bersama
sebagai bentuk partisipasi penuh oleh umat secara menyeluruh. Akhirnya, tahun 1984, gereja sederhana
selesai dibangun. Pihak paroki mendukung dengan sebulat hati
dan stasi ini diberi nama: Stasi Aek Kuo III.
Ibu Jumina Nainggolan (KDPS) dan Rusmaida Manalu (Bendahara) |
Selama
enam tahun mereka memakai gedung gereja yang sangat sederhana ini. Pada tahun 1990 timbullah niat pengurus gereja untuk membuat
permohonan bantuan untuk memugar gereja kepada Pastor Yakobus, OFMCap.
Pastor Yakobus, OFMCap. mendukung niat
baik tersebut. Pihak paroki menjanjikan
50% dari anggaran bangunan ± Rp
5.000.000,- dan 50 % lagi dari partisipasi umat. Persyaratan lain dari paroki
ialah bahwa umat harus lebih dahulu membuktikan dana yang 50% kemudian paroki
akan mengucurkan dana 50% yang sudah dijanjikan. Persyaratan ini semakin memacu
umat untuk mengadakan berbagai kegiatan demi mengumpulkan dana yang merupakan
partisipasi wajib mereka.
Berpose Setelah Ekaristi dan Pengakuan Dosa |
Dalam
upaya pengumpulan dana ini, rasa tanggung-jawab mereka juga semakin dipupuk. Berbagai sumber dana mereka usahakan mengingat
kondisi ekonomi yang masih sangat memprihatinkan. Mereka juga mendekati
Pastor Germano, SX yang waktu itu sudah berkarya di paroki Aek
Nabara. Pastor ini sering disebut “Bimpot” yang asal katanya “Wing Foot”. Pastor Germano, SX, dengan
senang hati memberikan pita film untuk dipertontonkan di Tangkahan Lanteung. Hasil dari sumbangan penonton dalam pemutaran film ini
langsung mereka antar ke paroki. Dan tentu hal ini mendapat respek dan dukungan
dari paroki.
Berkat
kerjasama dan semangat kesatuan yang hidup di kalangan umat serta dukungan yang
baik dari paroki, akhirnya pada tahun 1991, gedung gereja selesai dipugar. Jumlah
umat sebanyak 16 KK. Pada tahun 1993, Bapak Denni Sitio digantikan oleh Bapak K. Sinaga
sebagai Porhanger. Sejak saat itu umat
tidak terlalu nyaman dengan nama stasi mereka sebagai Stasi Tangkahan Lanteung
atau Stasi Aek Kuo III. Mereka mengusulkan untuk menggati nama stasi menjadi
Stasi Makmur Bersama.
Sudut Pengakuan Dosa Darurat |
Pada tahun 1994 terjadi angin
putiung beliung yang merusak banyak rumah penduduk termasuk gereja Katolik.
Menara gereja rusak berat dan atapnya tercampak jauh. Disamping karena musibah
itu, kondisi gereja juga sudah mulai lapuk. Dan setiap kali umat masuk gereja,
mereka cemas siapa tahu bangunannya roboh.
Tahun 1999 jumlah umat bertambah menjadi 25 KK dan jabatan porhanger atau Ketua Dewan Stasi
kembali kepada Bapak Denni Sitio. Perlahan-lahan
keinginan umat semakin bertambah untuk membangun gereja baru. Hasil dari panen
sawit sekitar 1 ha sungguh mereka prioritaskan sebagai tabungan untuk
pembangunan gereja.
Periode selanjutnya KDPS yang memimpin umat stasi Makmur Bersama (2010-2015)
adalah Ibu J. br. Nainggolan
dengan jumlah umat yang aktif
sebanyak 18 KK. Pada
tanggal 28 November 2013 P. Hiasintus Sinaga, OFMCap bersama Sr. Laura Purba,
KYM mengadakan kunjungan pastoral,
menerimakan pengakuan dosa dan ekaristi. Berkat kunjungan ini, umat semakin
bersemangat untuk membangun gereja.
Jalan dari Pelabuhan Menuju Gereja |
Dalam perjalanan selanjutnya
para pengurus menyemangati umat sehingga sejak bulan Juni 2014 mereka
menyepakati untuk mengadakan satu hari sebagai hari doa lingkungan tepatnya pada
setiap Sabtu malam sambil mengadakan kollekte pembangunan. Selain itu umat menyepakati partisipasi
sukarela per bulan bergerak dari Rp 20.000 s/d Rp 100.000 seturut kesiapan dan
kemampuan umat.
STASI KUALA TANI
Pada
tahun 1974, para perantau (panombang)
dari berbagai wilayah datang ke Kuala Tani untuk memulai hidup baru. Di antara
mereka terdapat 7 keluarga Katolik, yakni: A. Sabam Situmorang, A. Pantas
Situmorang, A. Pendus Sinaga, A. Master Gultom, A. Danto Sinurat, Op. Risda
Tamba dan A. Mawan Gultom. Ketujuh keluarga ini sepakat untuk mengadakan perkumpulan
Katolik. Pada awalnya mereka mengadakan peribadatan di rumah keluarga A. Oskar
Sinaga. Selanjutnya mereka memilih dua orang
dari antara mereka sebagai pengurus gereja yakni sebagai Porhanger:
A. Sabam Situmorang dan Bendahara : Op. Risda Tamba.
Bpk Bernard B. Sinaga Sekretaris DPP menuju Kuala Tani |
Bersamaan dengan
itu mereka mulai memikirkan pembangunan gereja di Kuala Tani. Pada tahun 1975
gereja Katolik Kuala Tani selesai dibangun. Meskipun gerejanya masih sangat
sederhana, umat Katolik Kuala Tani tetap rajin beribadah pada hari Minggu.
Namun kegembiraan mereka tidak bertahan lama.
Pada tahun 1977,
angin kencang menerbangkan atap gereja, sehingga tidak bisa lagi dipakai sebagai tempat
beribadah. Mereka kembali beribadah di rumah-rumah, sambil mengusahakan
perehaban gereja yang rusak itu. Pada tahun 1978 umat membangun kembali
gerejanya dengan mengusahakan bahan yang lebih baik, yakni tiang broti dan atap
seng. Tampaknya cobaan belum selesai. Setengah tahun setelah gereja berdiri,
banjir besar melanda daerah Kuala Tani. Umat tidak bisa lagi ke gereja dan
kembali beribadat di rumah. Pada saat itu kepengurusan beralih dari A. Sabam
Situmorang ke A. Mawan Gultom, karena A. Sabam pindah ke tempat lain. Walaupun kondisi sangat memprihatinkan jumlah umat
justru bertambah menjadi 10 KK.
Gereja Kuala Tani |
Untuk memperjelas
status tanah tempat gedung Gereja di Kuala Tani, maka ganti rugi diberikan
kepada Hasan Pasaribu, sebesar Rp. 15.000. Dalam pemberian ganti rugi tersebut,
pihak gereja diwakili oleh A. Mawan Gultom. Meskipun status tanah sudah jelas,
namun umat tetap harus mencari tanah pertapakan lain, karena lokasi gereja
sering tergenang banjir. Maka atas kesepakatan bersama, gedung gereja
dipindahkan dari Kuala Tani ke Aek Natas, lokasi gereja sekarang.
Pada masa
perpindahan lokasi gereja ini, struktur kepengurusan sebagai berikut: Porhanger:
A. Robin Situmorang ; Bendahara: A. Sumanti Silalahi; Anggota: A. Mawan Gultom, A.
Pendus Sinaga, A. Ajis Situmorang. Pada masa ini beberapa keluarga datang dari Toba
Samosir, sehingga jumlah umat Katolik bertambah menjadi 14 KK.
Kondisi Kampung Kuala Tani Usai Banjir |
Pada
tahun 1986 diadakan periodisasi pengurus di Kuala Tani dan terpilihlah
porhanger yang baru yakni: A. Bergiat Sinaga. Beliau menjabat sebagai porhanger
sampai tahun 1995. Pada masa kepemimpinannya tidak ada hal yang mencolok yang
terjadi di Kuala Tani. Peribadatan berjalan seperti biasa dan kehidupan umat
berjalan dengan normal.
Periode
yang cukup lama dari A. Bergiat diteruskan oleh A. Hendra Tamba pada tahun
1995. Pada masa kepemimpinan beliau dicanangkan untuk merehab gedung gereja.
Perehaban gereja akhirnya dapat terlaksana dan terbentuklah gedung gereja yang
lebih baik, yakni bangunan semi-permanent
(berdinding batu dan papan, serta beratap seng, tetapi lantai masih tanah).
Pada tahun 1997 umat mengumpulkan iuran
untuk memperbaiki lantai gereja.
Ternyata gedung
gereja yang sudah lebih baik tidak menjamin perkembangan umat. Pada masa ini
jumlah umat berkurang lagi menjadi 11 KK, karena beberapa keluarga pindah ke
tempat lain untuk mencari kehidupan yang lebih baik, karena daerah Kuala Tani
sering dilanda banjir.
P. Oscar dan Pengurus Rayon E. Bancin di Rumah Umat |
Periodisasi
selanjutnya terlaksana pada tahun 2000, dan terpilihlah struktur pengurus
sebagai berikut:Porhanger: A. Hendra Tamba; Wakil:
S. Butar-butar; Sekretaris: A. Saur
Siregar; Bendahara : Op. saur
Doloksaribu; Sedangkan pada
periodisasi tahun 2010 tongkat estafet kepemimpinan beralih, dengan susunan
sebagai berikut:Porhanger: Dionisius
Gultom; Wakil : Hiras Sinaga; Bendahara: Evi br, Napitupulu; Sekretaris:
Sampe Gultom.
Statistik tahun
2010 menunjukkan bahwa umat Kuala Tani berjumlah 8 KK. Akan tetapi jumlah ini
bertambah pada awal tahun 2011 menjadi 9 KK dengan masuknya keluarga Adi Donal
Tamba. Akan tetapi keadaan damai di stasi Kuala Tani terusik, dengan munculnya konflik
internal. Konflik ini mengakibatkan persentase kehadiran pengurus gereja ke gereja semakin menurun. Kendati
demikian situasi tidak kondusif itu tidak menyurutkan umat untuk datang dan
masuk menjadi anggota Stasi Kuala Tani.
Pada bulan Desember
2011 dua keluarga datang dan menjadi anggota stasi Kuala Tani, yakni: A. Paima
Sinaga dan A. Edo Gultom. Hingga saat ini umat stasi Kuala Tani berjumlah 11
KK. Pada saat ini mereka masih berusaha mengusahakan perehaban gereja dan
memohonkan dukungan dari pihak-pihak yang bersedia mengulurkan tangan
untuk membantu usaha mereka. Rencana perehaban gereja telah disampaikan kepada pihak paroki.
Untuk menanggapi
permohonan ini, pastor paroki berkunjung sambil mengadakan misa pada hari biasa
(tidak hari Minggu). Pastor paroki, menerangkan
dengan baik peraturan dan syarat-syarat untuk bisa mendapat giliran membangun
gereja. Di samping itu Seksi Pembangunan Paroki dan Pengurus rayon mengadakan
kunjungan juga. Sangat diharapkan agar umat mengerti dan mengikuti ketentuan
yang ada sambil bersabar untuk pelan-pelan mengumpulkan dana sehingga pihak
keuskupan dan DSAK-KWI bisa membantu sebab stasi yang lain lebih mendesak dan
lebih memenuhi kriteria untuk didahulukan.
STASI SANTO IGNATIUS JAMBUR DAMULI
Umat perdana Stasi
Santo Ignatius Jambur Damuli terdiri dari 6 Kepala Keluarga (KK) yakni: A.
Rosma Gultom, Munthe, A. Anggiat Lumbanraja, A. Risda Pakpahan, A. Marlon Manik
dan A. Kimi Lumbantukkup. Kumpulan pemula ini terjadi pada tahun 1973 ketika
masih dalam wilayah gerejani Paroki Sakramen Mahakudus Kisaran.
Ketua Dewan Pastoral
Stasi (KDPS) pertama diemban oleh A. Rosma Gultom sedangkan yang menjabat
sebagai wakil KDPS yang merangkap sebagai sekretaris dan bendahara
ditanggungjawabi oleh Bapak Samosir dan didukung oleh Bapak Tamba yang sekarang
berdomisili di stasi Lalangbundar.
Sebagaimana biasanya pada
awal-awal perkumpulan yang menjadi cikal bakal stasi, mereka berkumpul untuk
beribadat secara teratur dari rumah yang satu ke rumah umat yang lain secara
bergiliran. Dan dalam perjalanan waktu
mereka mulai memikirkan pembangunan gereja. Atas semangat kekompakan dan persaudaraan
mereka membangun gereja yang sangat darurat dan kecil dengan ukuran 5 x 6 m2
di atas lahan 10 x 30 m2.
Lahan ini mereka beli dari Bapak Kimi Lumbantukkup. Biaya pembangunan
semuanya berasal dari partisipasi umat yang pada saat itu sudah berjumlah 12
KK.
Periode berikut, pada
tahun 1982 mereka membangun gereja yang lebih layak karena gereja lama tadi
sudah sangat tidak layak lagi dipakai. Gereja lama dibongkar dan atas
pertapakan gereja lama dibangunlah gereja yang lebih besar dengan kondisi yang
lebih baik. Dingding dari papan, lantai dari semen dengan atap terbuat dari
seng. Pada saat itu KDPS masih diemban oleh Bapak Rosma Gultom dengan wakil J.
Damanik yang mereangkap sebagai sekretaris dan bendahara. Akan tetapi pada
tahun yang sama bapak KDPS pindah tempat tinggal dan akhirnya digantikan oleh
Bapak B. Lubis.
KDPS: Bapak Lubis |
Sampai pada tahun
1982, di sekitar desa Jambur Damuli belum ada Sekolah Dasar. Maka umat
menggagasi pendirian sekolah katolik yang didukung oleh pihak paroki. Prakarsa ini datang dari bapak J. Manik. Nama
sekolah itu disebut SD Santa Maria dan gedung gereja sebagai tempat proses belajar
mengajar. Murid yang ada mulai dari
kelas I sampai dengan kelas III. Tenaga guru pengajar pada waktu itu adalah J.
Manik sendiri. Dan karena alasan pindah Bapak J. Manik digantikan oleh Bapak B.
Lubis. Usia sekolah itu hanya sampai
tahun 1984 karena pihak pemerintah sudah membangun Sekolah Inpres dan persis di
samping gedung gereja kita sendiri.
Pada tahun yang sama
(1984) umat sepakat untuk menjual pertapakan gereja lama untuk dapat membeli
pertapakan gereja yang baru. Ukuran
pertapakan tersebut sebagai berikut: Sebelah Barat 105 m; Sebelah Timur 100 m;
Sebelah Utara 19.34 m dan Sebelah Selatan 18.75 m. Pada saat itu juga gereja
yang baru dibangun kembali.
Kepengurusan gereja
pada periode 1984 sampai tahun 1991 sebagai KDPS diemban oleh Bapak Op. Marsel
Lumbanjara alias Pak Anggiat. Wakil KDPSnya Op. Marsahat Pakpahan. Sedangkan
sebagai bendahara adalah M.
Siringoringo. Pada periode 1991 sampai dengan 1996 KDPS ditanggungjawabi oleh
Bapak Anggiat Lumbanraja dan Bapak Pantun Manullang sebagai wakilnya. Sedangkan
yang menjadi sekretaris dijabat oleh Op. Lamro Lubis dan bendaharanya adalah M.
Siringoringo. Pada periode selanjutnya yakni 1996 sampai dengan 2001
dilanjutkan oleh kepengurusan periode selanjutnya kecuali jabatan Bendahara
diberikan kepada Op. Marsahat Br. Sidabutar.
Interior Gereja |
Pada tahun 1997, tidak jauh dari Gereja Katolik Jambur Damuli,
pengusaha mendirikan Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Dengan berdirinya PKS ini
banyak para karyawan dan bertempat tinggal di desa Jambur Damuli. Beberapa dari
mereka ada yang beragama Katolik sehingga pada saat itu jumlah umat sudah
mencapai 22 KK. Dan sejak itu pula sudah mulai ada gerakan pengumpulan dana
untuk pembangunan gereja yang lebih anggun sehingga sesuai dengan kebutuhan
liturgis. Iuran pertama ialah Rp 5.000 per KK. Kemudian meningkat menjadi Rp
10.000 per KK dan selanjutnya Rp 25.000 untuk setiap bulannya. Selain itu mulai
juga mengalir sumbangan sukarela.
Kondisi dan semangat
membangun ini, sungguh mendorong umat untuk membentuk kepanitiaan pembangunan
gereja. Adapun susunan kepanitiaan pembangunan yang terbentuk adalah: P. Nelson
Sitanggang, OFMCap (Pelindung); A. Japaris Siburian (Ketua); A. Marsahat
Pakpahan (Wakil); M. Br. Pandiangan (Bendahara); Op. Lamro Lubis dan A.
Simamora (Anggota).
Tugas pertama yang
diemban oleh panitia adalah membuat proposal untuk dapat diedarkan kepada
pihak-pihak penyumbang baik kepada pihak pribadi, lembaga dan kelompok-kelompok
masyarakat lainnya. Dalam proposal tertera ukuran bangunan dan taksasi dana
pembangunan. Total dana yang perkirakan untuk membangun gereja baru tersebut
ialah Rp 106.400.000 dengan ukuran bangunan gereja 9 x 16 m2. Dana yang sudah dalam tabungan umat hasil dari
iuran-iuran serta sumbangan sukarela selama beberapa tahun kurang lebih
Rp30.000.000. Kemudian pihak paroki menyumbang Rp 10.000.000 dan Bapak
Agustinus Simamora Rp 10.000.000. Maka dalam proposal yang diharapkan dari
Keuskupan Agung Medan kurang lebih Rp 50.000.000. Selebihnya akan diupayakan
dalam penggalangan dana pada pesta Kristus Raja se rayon Aek Kanopan.
Para Pengurus Masa Bakti 2010-2015 |
Pada periode 2002 –
2005 susunan kepengurusan terdiri dari:
A. Marsahat Pakpahan (KDPS); A. Lamro Lubis (WKDPS); R. Br. Pakpahan
(Bendahara); M. Br. Silitonga (Sekretaris) dan sebagai para anggota ialah N.
Gresi Br. Tanggang dan L. Br. Lumbantukkup. Para pengurus ini sungguh dapat
bekerjasama dengan panitia yang sudah terbentuk untuk merampungkan pembangunan
gereja. Akhirnya pada tahun 2004 gereja selesai dan diberkati pada tahun ini
juga oleh P. Nelson Sitanggang, OFMCap. dengan pelindung gereja adalah St.
Ignatius yang pesta pelindungnya dilakukan pada tanggal 31 Juli untuk setiap
tahunnya. Jumlah umat sampai pada pemberkatan gereja ini sebanyak 22 KK.
Periode selanjutnya
yakni tahun 2007 – 2011 dimana jabatan pastor paroki P. Nelson Sitanggang,
OFMCap diestafetkan kepada P. Hiasintus Sinaga, OFMCap. Waktu itu P. Nelson
Sitanggang, OFMCap pindah untuk mengikuti kursus di Roma sedangkan P. Hiasintus
Sinaga, OFMCap dipidah tugaskan dari Paroki St. Fransiskus Assisi Saribudolok
ke Paroki Aek Kanopan. Para pengurus pada periode ini sebagai berikut: A.
Marsahat Pakpahan (KDPS); L. Br. Lumbantukkup (WKDPS); N. Joparis Br. Haloho
(Bendahara) yang kemudian karena kurang aktif diganti oleh Ibu Nan Gresi Br.
Tanggang. Sebagai sekretaris diemban oleh ibu Nan Kita Br. Silitonga. Akan
tetapi pada tahun 2008 ada perobahan format kepengurusan. M. Sihombing terpilih
menjadi KDPS, WKDPSnya adalah L. Br. Lumban Tukkup. Sekretaris, J. Pakpahan
dalam perjalanan waktu sakit dan akhirnya meninggal dan digantikan oleh ibu Nan
Gresi Br. Tanggang. Sebagai bendahara
ditangani oleh ibu L. Br. Sihotang. Dan anggotanya
adalah Pak Marsahat Pakpahan. Kemudian KDPS terpilih pindah lagi sehingga
digantikan oleh ibu L. Br. Lumbantukkup. Pada waktu itu jumlah umat terdiri
dari 24 KK.
Masa bakti yang sedang
berjalan sekarang dipimpin oleh Bapak B. Lubis dengan wakilnya Pak Marsahat
Pakpahan. Sekretaris ditangani oleh J. Manullang dan bendahari ditanggungjawabi
oleh L. Br. Sitanggang. Anggota-anggotanya
sebanyak 5 orang yakni: L. Br. Lumbantukkup, B. Sitanggang, Ma Kita Br.
Silitonga, L. Br. Sinaga dan L. Br. Manurung. Pada periode ini kamar mandi
gereja dibangun dan dilengkapi jalan trotoar mengenglilingi gereja dan
terhubung langsung ke kamar mandi yang ada di bangian belakang gereja. Hal ini
tentu memperindah gereja dan berfungsi menghindari lumpur masuk ke dalam
gereja.
Program selanjutnya
stasi ini merencanakan pembuatan pagar keliling. Proposal kepada pemerintah
sudah sedang digodok yang prakarsai Bapak Agustinus Simamora yang kebetulan
selama 2 periode terpilih menjadi DPRD Labura dari partai PDIP. Semoga rencana berjalan dengan baik dan umat
semakin rajin ke gereja dan doa lingkungan.
STASI ST. JOSEF CINTA
DAME (GALANGGANG)
Sekitar tahun 1970 tibalah para perantau
dari daerah Tapanuli dan Simalungun ke Cinta Dame. Dan sekitar 8 KK dari para
perantau(panombang) ini sudah beragama katolik. Awalnya mereka berkumpul di
rumah bapak Robertus Napitu 3 tahun lamanya. Bapak Robertus Napitu inilah yang
bertindak sebagai pemimpin ibadat setiap minggunya.
Pada tahun 1973, umat mengutus bapak
Robertur untuk menemui Pastor di Kisaran dengan tujuan agar pastor datang untuk
memberikan sakramen kepada umat dan sekaligus untuk pendirian stasi Cinta Dame.
Atas permintaan ini, pastor (Ari Van Deimen) dengan senang hati menyanggupi
permintaan itu. Pada tahun ini juga umat berusaha mendirikan Gereja pertama,
mereka bergotong royong dan hasilnya berdirilah sebuah bagunan Gereja yang
sederhana dengan atap lalang, dinding anyaman “gedek” dengan tiang kayu bulat. Umat pada saat itu berjumlah
8 KK.
Gereja Dalam Kondisi Sekarang |
Pada tahun 1975 terjadi banjir yang
disebabkan oleh pecahnya tanggul sungai Aek Natas. Banjir melanda
seluruh tanaman padi dan juga rumah penduduk sekitar. Melihat situasi ini,
pastor Schepens yang waktu itu
masih di Kisaran membangun tanggul yang pecah, tetapi tidak beberapa lama
tanggul kembali pecah. Bapak Robertus Napitu sebagai KDPS bersama dengan umat
mencari tempat baru untuk mendirikan gereja
yang baru. Mereka membeli sebidang tanah dengan ukuran 14 x 40 meter untuk
tapak gereja, jaraknya kira-kira 600 meter dari gereja pertama.
Berkat semangat kerjasama umat, maka pada
tahun 1976, gereja kedua selesai dibangun dan umatpun menempati gereja baru
dengan ukuran 7x9 meter persegi dengan lantai tanah. Pada saat ini, Bapak
Robertus Napitu masih tetap dipercaya sebagai KDPS. Umat sangat semangat. Hal itu tampak dari kemauan untuk berbagi, bergotong
royong, kompak walaupun keadaan ekonomi pada saat itu masih kurang memadai
karena banjir masih terus melanda daerah ini, sehingga lahan umat tidak bisa ditamanami. Baru pada
tahun 1984, tanggul yang pecah dapat ditutup, dan umat kembali membuka lahan
masing-masing untuk menanam padi.
Interior Gereja saat Misa hari Biasa |
Pada tahun 1990 Pastor Simn Sinaga
OFMCap, membeli sebidang tanah kurang lebih 1 hektar dan tanah ini diberikan
kepada stasi untuk diusahai, di atas lahan ini, umat menanami sawit. Pembagian
hasil dibuat 75 % untuk paroki, 25 % untuk kas stasi. Tetapi ini justru
menimbulkan persoalan antara umat dan pengurus stasi. Karena persoalan ini
berlarut-larut, maka pada tahun 2005 atas nama PSE, P. Leopold Purba OFMCap
bersama dengan bapa M.T. Manalu menjual tanah itu kepada salah seorang umat
yaitu Op. Ramot Sinaga.
Masa kepemimpinan bapak Robertus Napitu
di mulai sejak tahun 1973 sampai pada tahun 1990. Bapak ini sangat rajin
mengikuti kegiatan-kegiatan gereja, baik untuk kursus maupun rapat-rapat
(sermon bolon). Namun satu persoalan muncul yaitu tentang isu begu ganjang, dan
bapak ini di tuduh atau menjadi tersangka. Persoalan ini membuat iman umatpun
mulai goyah, dan akhirnya ada yang pindah gereja serta tidak hadir ke gereja
lagi. Sedangkan bapak Robertus Napitu akhirnya tidak lagi datang ke gereja.
Melihat situasi ini, akhirnya diadakan periodisasi untuk memilih KDPS, maka
terpilihlah bapak Kasmin Oppusunggu. Bapak ini baru katolik setelah menikah
dengan ibu A. br Tamba. Meskipun demikian, karena karisma kepemimpinan bapak
ini, umat senang, bersemangat. Pada saat itu jumlah umat 18 KK. Bapak Kasmin
Oppusunggu disukai umat dan berulang-ulang dipilih sebagai KDPS.
Seiring dengan perjalanan waktu, Gereja yang dibagun
pada tahun 1976 sudah tidak layak lagi digunakan, karena tiang-tiang dan
dindingnya sudah keropos. Maka pada tahun 1994, atas mufakat bersama, gereja
ini di rehab. Pada waktu itu umat mengumpulkan dana perehapan
sebesar Rp. 40.000/KK serta pasir 40 kaleng/ KK. Dengan dana yang ada umat
membangun gereja semi permanen dengan atap seng. Gereja inilah yang digunakan
umat sampai sekarang. Tentu keadaannyapun sudah tidak layak lagi, sebab sudah
keropos dan atapnya sudah banyak yang bocor.
Pengimaman |
Pada tahun 2006, bapak Kasmin Oppusunggu
(2005-2008) yang masih menjabat sebagai KDPS meninggal dunia. Peristiwa ini
meninggal duka yang mendalam bagi keluarga dan juga umat katolik. Bapak Kasmin
seorang pemimpin yang dicintai oleh umat dan juga keluargannya. Untuk
melanjutkan tugas sebagai KDPS maka wakil KDPS diangkat sebagai KDPS, namun
arena alasan kemampuan yaitu ibu P. br Siahaan (janda), ia meminta ke paroki
untuk mengangkat pejabat sementara menunggu periodisasi tahun 2007, Permintaan
ini disanggupi oleh paroki maka diangkatlah bapak J.
Johanes Sinaga sebagai penjabat sementara untuk mengambil alih tugas KDPS.
KDPS: J. Johanes Sinaga (2007-2015) |
Pada tahun 2008 diadakanlah periodisasi
dan terpilihlah J. Johanes Sinaga sebaga KDPS dengan masa bakti 2008 sampai
dengan 2011. Keadaan umat pada saat itu berjumlah 14 KK dengan jumlah 54 jiwa.
Mengingat keadaan Gereja yang sudah tidak layak lagi digunakan, maka umat
merencanakan untuk membangun gereja. Dan cara pengumpulan dana ditawarkan
dengan menabung Rp 1000 perhari untuk setiap keluarga. Program menabung Rp.
1000 perhari dimulai dari tahun 2009 sampai sekarang 2014 dan program ini
berjalan dengan baik, hasilnya disimpan di CU Budi Murni.
Pose Umat dengan P. Hiasintus Sinaga |
Pada tahun 2011 bapak J. Johanes Sinaga
kembali terpilih sebagai KDPS untuk periode 2001 s/d 2015. Beliau juga terlibat
di pengurusan Rayon sebagai
sekretaris rayon dan sebagai
anggota seksi KKS paroki. Dalam masa kepimimpinan bapak ini, stasi mengalami
kemajuan misalnya semangat dalam membangun umat, dalam peribadatan setiap
minggunya, dalam hal pengorbanan, demikian juga dalam hal kewajiban-kewajiban
umat ke stasi, rayon dan paroki.
Harapan umat: Dengan kondisi gereja yang sudah tidak layak dan adanya
semangat umat dalam hal membangun, umat sangat merindukan Gedung gereja yang
baru. Akhirnya disepakati untuk mengumpulkan dana pembangunan. Pengumpulan dana
ini dilaksanakan pada saat pesta pelindung Stasi yang ke 40 yaitu pesta St.
Josef tanggal 19 Maret 2014. Maka terkumpulah dana atau bahan bagunan pada waktu
itu sebagai berikut: 100 sak semen, 10
ribu batu bata, 60 lembar seng metalic, 3 m kubing pasir.
Catatan: Sejak tahun 1990-an desa
Galanggang diobah pihak pemerintah menjadi Cinta Dame. Akan tetapi pihak stasi
mengusulkan penggantian nama ini baru pada tahun 2013. Maka dalam Sidang
Pastoral Paripurna tahun 2013 stasi Galanggang diobah menjadi Stasi Cinta Dame
sesuai dengan nama desa yang sudah disahkan oleh pemerintah.
Berikut ini susunan Dewan Pastoral
stasi dari periode yang satu ke periode berikutnya: 1) Periode 1973-1990: Ketua: Robertus Napitu; Wakil
Ketua : Suminar Manalu;
Bendahara : M br Tamba; Anggota: Nelson Siahaan. 2) Periode 1990 – 1993: Ketua:
Kasmin Oppusungu; Wakil Ketua: Sumihar Manalu; Sekretaris: Pendy Sitorus; Bendahara:
Magdalena Siburian; Anggota: Nelson Siahaan dan Pianar br Siahaan. 3) Periode 1993 -1996: Ketua: Kasmin
Oppusunggu; Wakil Ketua: Sumihar Manalu; Sekretaris: Mahmud J. Manurung; Bendahara: Magdalena Siahaan; Anggota: Nelson Siahaan dan Pianar
Siahaan.
4) Periode 1996 -1999: Ketua : Kasmin Oppusunggu; Wakil Ketua: Sumihar Manalu; Sekretaris:
Hasudungan Sihombing; Bendahara: Mahmud J Manurung; Anggota: Nelson Siahaan, Pianar
Siahaan dan J. Johanes
Sinaga.
5) Periode 1999 -2002: Ketua:
Sumihar Manalu; Wakil Ketua :
Nelson Siahaan; Sekretaris: J. Johanes Sinaga; Bendahara: Mahmud J Manurung;
Anggota: Kasmin Oppusunggu, Pianar Siahaan dan Rosmida
br Pasaribu. 6) Periode 2002 -2005: Ketua:
Kasmin Oppusunggu; Wakil Ketua: Nelson Siahaan; Sekretaris :Mahmud J. Manurung; Bendahara :
Sumihar Manalu; Anggota: Pianar Siahaan, Rosmida br Pasaribu. 7) Periode 2005 -2008: Ketua: Kasmin Oppusunggu; Wakil
Ketua: Pianar Siahaan; Sekretaris : Mahmud J
Manurung; Bendahara: Sumihar Manalu; Anggota : Nelson
Siahaan, Rosmida br Pasaribu, Tiarum
Sitorus. Tahun 2006 Ketua
Dewan Stasi bapak Kasmin Oppusunggu meninggal dunia, maka dianggkatlah pejabat
sementara (KDPS) yaitu bapak J. Johanes Sinaga sampai tahun 2008. 8) Periode 2008 – 2011: Ketua : Janner Johanes Sinaga; Wakil Ketua :
Hombang Manurung; Sekretaris: Op. Samer Tamba; Bendahara: Tiarum Sitorus; Anggota : Sumihar Manalu, Rosmida Pasaribu, Pianar
Siahaan. 9) Periode 2011 – 2015: Ketua:
Janner Johanes Sinaga; Wakil Ketua: Piane Siahaan; Sekretaris: Saut Deodatus Manalu; Wakil Sekretaris: Rindo Jonson Situmorang; Bendahara: Tionarida Purba; Anggota: Sumihar Manalu dan Rindia Pasaribu.
Asmika |
Kondisi terkinini: Sampai
saat ini umat berjumlah sebanyak 14 KK (statistik 2013)
dengan jumlah 45 jiwa. Kas bangunan
sampai Juni 2014: Kas tunai Rp. 35 juta; Bahan
bangunan: Semen 100 sak; Seng 60
lbr; Batu bata 10 ribu biji; Pasir 3
m kubik; Program Pembangunan: a.
Tabungan Rp 1000/ hari; b. Toktok ripe Rp. 500 ribu/ KK setahun dan masih
berjalan sampai sekarang .
STASI SANTO BERNARDUS ABAS PARDOMUAN NAULI
Sekitar tahun
1969 para perantau/panombang dari daerah
Pogurawan dan Bandar datang ke daerah Cinta Rame Pardomuan Nauli untuk membuka
lahan pertanian secara khusus untuk menanam padi. Dari sekian banyak perantau
ini, sekitar 8 kepala keluarga (KK) beragama katolik. Merekalah yang menjadi cikal
bakal umat di daerah Pardomuan Nauli.
Mereka bersepakat berkumpul untuk melaksanakan ibadat setiap Minggu.
Tempat mereka berkumpul pada awalnya di rumah keluarga Pinnen Situmorang. Dan untuk
memimpin pertemuan setiap Minggunya mereka memilih A. Retia Hasibuan (ketua) dan
A. Jumontang Nainggolan sebagai penatua. Selama kurang lebih satu tahun
perkumpulan itu berjalan apa adanya.
Kemudian tahun 1970,
umat yang sudah mulai bertambah memikirkan tempat ibadat tersendiri. Keinginan
mereka sangat kuat untuk mendirikan gereja sederhana. Maka dipacu oleh semangat kebersamaan umat
mulai bergotong royong untuk mendirikan gereja sederhana dengan menggunakan
bahan bangunan dari lahan mereka masing-masing. Akhirnya gereja dengan ukuran 6
x 5 meter2 dengan atap daun nipah, dinding anyaman “gedek” dan
lantai tanah. Sedangkan bangku pada
waktu itu dibuat dari kayu-kayu bulat yang dibelah dua yang kakinya ditancapkan
ke laintai tanah. Kurang lebih selama 2 tahun umat menggunakan gereja ini.
Gereja Stasi St. Bernardus Abas P.Nauli |
Karena jumlah umat
terus bertambah dan gereja lama tidak memadai lagi untuk menampung jumlah umat, maka pada tahun 1973, ketika Op. Anju Sihombing
sebagai KDPS, mereka menyepakati untuk membuat gereja yang baru. Lahan pertapakan gereja yang baru juga
dicari. Kurang lebih seratus meter dari
tapak gereja pertama, sebidang tanah dibeli
dengan luas kurang lebih 1/5 hektar.
Menurut Surat Ganti Rugi yang ada di paroki, tanah ini dibeli dari Biniari
Situmorang sebagai pihak pertama. Sementara sebagai pihak kedua yang menjadi
pembeli atas nama Gereja Katolik adalah Bapak J. Simbolon yang pada waktu itu
sebagai ketua panitia bangunan. Penerbitan surat ini terjadi pada tanggal
26 Februari 1973.
Semangat kekompakan
yang hidup di antara umat sungguh mendorong mereka untuk sesegera mungkin
memiliki gereja sehingga pada tahun 1974 gereja baru dibangun dengan ukuran 8 x
12 meter kwadrat. Sementara gereja sedang dibangun, umat kembali melakukan kegiatan peribadatan
pada hari Minggu di rumah umat sendiri.
Gereja sudah beratap seng, badan bangunannya semi permanen tetapi dindingnya masih anyaman gedek, serta lantai masih dari tanah. Tahun-tahun
ini, kehidupan ekonomi umat bisa dikatakan baik. Berkat hasil pertanian yang memuaskan yakni
padi, kacang dan tanaman palawija lainnya umat semakin bersemangat. Jumlah umat
pada saat itu sudah mencapai 38 KK.
Interior Gereja |
Sekitar tahun 1983, umat
bermusyawarah untuk merehab gereja. Rancangannya
dibayangkan bahwa dinding anyaman gedek akan diganti dengan kayu dan lantai dari tanah
menjadi semen. Bangku yang dari kayu bulat diganti dengan bangku yang permanen.
Rancangan perehaban tersebut menghasilkan sebuah anggaran biaya Rp 4.166.600,-
yang dibuat pada tanggal 31 Oktober 1984.
Setahun kemudian,
tepatnya tanggal 13 Desember 1985 Panitia Pembangunan dan Pengurus Gereja membuat
proposal kepada pihak Keuskupan Agung Medan. Partisipasi umat terdiri dari 38
KK x 15 kaleng padi x Rp 15,- = Rp 855.000. Pengumpulan pasir hasil gotong
royong Rp 140.000. Upah tukang hasil dari ladang Rp 780.000. Maka total
kesanggupan umat Rp 1.775.000. Kemudian proposal diajukan kepada Keuskupan
Agung Medan dengan bantuan yang diharapkan Rp 2.391.000. Proposal
ditandatangani oleh Vorhanger (B.A. Silalahi), Ketua Pembangungan : Marudut
Kalit dan sekretarisnya L. Situmorang. Lalu pastor Jennis menghadiahkan altar baru bagi gereja dan sampai sekarang
altar ini masih digunakan. Demikianlah perehaban berjalan dan gereja hasil
rehaban itulah yang digunakan sampai sekarang.
Bapak Op. Tiur dan Ibu (tokoh yang masih aktif) |
Mengenai kehidupan
rohani, bisa dikatakan cukup berkembang.
Kelompok kategori ibu-ibu atau Punguan Ina Katolik (PIK) hidup dan bersemangat. Umat terlebih para pengurus sangat antusias mengikuti kursus-kursus dan pembinaan yang
dilaksanakan di paroki. Para pengurus sangat kompak dan rajin dalam
melaksanakan tugasnya. Perkembangan umat dari segi rohani juga tampak dengan
adanya perayaan-perayaan iman di stasi ini. Diceritakan bahwa P. Arie van
Diemen sudah pernah merayakan Tri Hari Paska di stasi ini. Rupanya perayaan ini sangat berkesan bagi
umat karena masih dikenang sampai saat ini. Tetapi meskipun kehidupan rohani
umat bisa dikatakan baik, namun karena terbentur dengan aturan secara khusus
dengan aturan permandian (masa P. Yosue Stainer, OFMCap dan P. Norbert Ambarita,
OFMCap.) ada juga umat yang pindah agama atau pindah Gereja tetapi tidak
terlalu mempengaruhi kesatuan dan kebersamaan umat di stasi ini.
Pada masa kepemimpinan
bapak B. A. Silalahi, doa lingkungan
dijalankan dan kelompok kategorial misalnya kategori PIK dan PAK berkembang.
Dan bahkan ada juga kelompok Kitab Suci dan kelompok tani. Kelompok tani ini sering
juga didampingi oleh pihak Panitia
Sosial Keuskupan Agung Medan (Pansos KAM) yang diasuh oleh P. Fidelis Sihotang,
OFMCap. Kelompok tani tersebut bergerak
dibidang pertanian dan peternakan.
Pada tahun 1986 P.
Simon Sinaga, OFMCap menjadi pastor paroki. Pastor ini sungguh memberi
perhatian terhadap pengembangan pengelolaan pertanian. Bekerjasama dengan pihak
Pansos KAM pastor ini sungguh memberi waktu dan pemikiran dalam mengurusi
kelompok tani. Pada 07 Februari 1987 kelompok tani ini sudah memiliki program
untuk pengadaan ladang bersama. Peningkatan dana social juga diupayakan sambil
menganimasi gerakan apa yang disebut pada waktu itu ”CU-nisasi”. Sementara itu
gerakan pemberdayaan sermon-sermon juga diusahakan.
Umat berpose dengan RP. Hiasintus Sinaga saat kunjungan pastoral |
Berkenaan dengan
urusan-urusan proyek, dari data yang kami langsir dari arsip paroki, bahwa pada
tanggal 16 Juli 1991, bapak B. Simbolon sebagai Ketua Group membuat surat memohon bantuan kepada pihak
pastor atau paroki untuk membeli persilan tanah untuk proyek. Pihak pemerintah
memaksa anggota harus membayar Rp 10.000 per orang. Harga tanah satu persil Rp
75.000 jika kontan dan jika bayar panen harganya Rp 125.000. Padahal pastor
sudah pernah juga membantu mereka Rp 500.000 untuk urusan administrasi dan
untuk bibit.
Untuk menanggapi surat
ini, besoknya pada tanggal 17 Juli 1991 P. Simon Sinaga, OFMCap membuat surat
kepada B.A. Silalahi dan kepada Kepala Lorong Pardomuan Nauli. Pastor Simon
menerangkan isi surat Bapak Simbolon di atas. Beliau berkesan bahwa urusan
tanah ini terlalu berbelit dan mencium ada sesuatu yang tidak beres atau
permainan sehingga ada ungkapan dalam surat pastor ini kata-kata yang cukup
tajam yakni: “Sai dao-dao ma sian hita MANGALLANG INDAHAN NI NAPINAROROTNA”. Tembusan
surat ini kepada Kepala Desa Ujung Padang, KAM dan P. Fidelis Sihotang, OFMCap
di Lubuk Pakam.
Besok harinya, 18 Juli
1991, Bapak B.A. Silalahi menanggapi surat tersebut. Beliau menerangkan
beberapa hal: (1) Kelompok Tani yang terorganisir yang sudah dikukuhkan
pemerintah adalah “Panitia Pengembangan Pertanian Pangan” (PETAPA) maka Group
B. Simbolon merupakan Panitia Tandingan. (2) Hanya tiga orang dari group itu
yang tidak memiliki tanah selainnya memiliki lahan. Jadi tidak benar bahwa
group ini merupakan group yang tidak memiliki tanah. (3) Group ini tidak pernah dipaksa untuk
membayar persilan tanah. (4) Komunikasi dan klarifikasi perlu ditingkatkan
sehingga tidak ada vonis yang mendahuluinya.
Para Pengurus Masa Bakti 2010-2015 |
Sehari sesudahnya,
yakni tanggal 19 Juli 1991, Bapak B.A. Silalahi membuat surat kepada Kepala
Desa Ujung Padang untuk menyusun ulang kepanitiaan PETAPA. Usalan ini disampaikan
agar kondisi semakin baik. Beliau mengajukan susunan panitia sebagai berikut:
Pelindung: P. Simon Sinaga, OFMCap (tetap) ; Penanggungjawab : B.A. Silalahi
(tetap); Ketua: M. Pandiangan; Sekretaris : T. Gultom; Bendahara : J.
Lumbanraja. Jika tawaran ini tidak diterima bisa disempurnakan dengan
memasukkan alim ulama dan pengurus gereja lainnya. Dan jika tak satupun tawaran
diterima, maka lebih baik panitia dibubarkan.
Pada hari yang sama
Kepala Desa Ujung Padang membalas surat bapak B.A. Silalahi dengan tembusan
kepada pastor Simon Sinaga. Beliau mengatakan bahwa untuk sementara waktu
PETAPA dihentikan kegiatannya agar tidak semakin terjadi kekeliruan yang lebih
parah. Beliau juga menyangkal kebenaran dari surat B. Simbolon ketua group di
atas. Dan Kepala Desa juga meminta agar panitia dan pihak-pihak terkait datang
secara langsung menjumpainya entah kapan dan di mana saja dengan lengkap
membawa segala surat-surat dan laporan pertanggunjawaban.
Kemudian pada tanggal
06 September 1991, sebagai anggota pengurus gereja Bapak B.A. Silalahi membuat
surat lagi kepada Dewan Paroki. Surat itu merupakan undangan agar Dewan Paroki
bersama Pastor Paroki datang pada tanggal 18 Septermber 1991 untuk membereskan
hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan Proyek Pengembangan Tanaman Pangan
yang disponsori oleh Gereja Katolik. Pada kesempatan yang sama juga kepala desa
Ujung Padang turut diundang dan menyatakan bersedia untuk hadir. Dan
permasalahan pun dapat terselesaikan.
Sedemikian besarnya
keberpihakan Gereja terhadap umatnya sehingga baik kepentingan rohani maupun
kepentingan hidup jasmani tetap diperjuangkan oleh paroki atau pastor. Hal itu
terbukti bahwa menurut surat Ketua pengurus proyek (M. Nainggolan) dan
diketahui oleh vorhanger (M. Pandiangan) mereka meminta bantuan obat-obatan
tanaman untuk kepentingan proyek. Pada tanggal 30 November 1992 misalnya mereka
memohon bantuan : 5 kg racun tikus, 2 kotak matador dan 3 kotak herbajol.
Semuanya ini dilakukan oleh pihak gereja untuk umatnya demi penyebaran warta
gembira Tuhan.
Walaupun tidak gampang
mengurusi kepentingan peri kehidupan umat, P. Simon Sinaga, OFMCap sebagai
pastor paroki yang sangat berbela rasa dengan umatnya yang miskin maka tetap
tidak putus asa. Beliau tetap mengupayakan berbagai bantuan untuk pembelian
lahan. Pastor ini pernah menegor M. Pandiangan (Amani Badia Pandiangan) melalui
surat tertanggal 17 Desember 1994. Isi surat tegoran ialah agar segala hal yang
berkaitan dengan pengelolaan sawit di sekitar pekarangan gereja hendaknya
ditanggung jawabi oleh pengurus gereja yang aktif dan yang mau diajak kerja
sama dalam mengembangkan Gereja Tuhan. Sejak itu, tanggung jawab dalam pengurusan
sawit di sekitar pekarangan gereja dipercayakan kepada bapak T. Gultom.
P. Simon Sinaga
termasuk orang yang tertib administrasi dan pengarsipan. Karena melihat surat
pertapakan gereja tertanggal 26 Februari 1973 belum ada tanda tangan dan
stempel pemerintah yang resmi maka pada tanggal 14 September 1993 P. Simon
Sinaga, OFMCap memohonkan tanda tangan kepala desa Ujung Padang atas nama
Naamin Tanjung lengkap dengan tanda tangan 4 saksi yakni: A. Situmorang, M.
Sihombing, N. Hasibuan dan S. Pakpahan.
Bapak Douglas Silalahi KDPS 2007-2015 |
Selain masalah tanah
dan urusan kelompok tani, pernah juga timbul sedikit ketidak enakan Gereja
Katolik dan HKBP di Pardomuan Nauli. Dalam surat Dewan Pastoral Stasi Pardomuan
Nauli tertanggal 31 Januari 1996 kepada Pengurus Gereja HKBP Pardomuan Nauli
tertera bahwa keluarga A. Indra Lumbanraja diumumkan di gereja HKBP sebagai
anggota baru mereka. Tembusan kepada Pastor Paroki. Padahal pada waktu itu istri A. Indra
Lumbanraja yakni E. Br. Simbolon masih resmi sebagai anggota pengurus Gereja
Stasi Pardomuan Nauli. Sekaitan dengan jabatan ini, ibu ini masih harus
mempertanggungjawabkan tugas dan jabatannya di Gereja Katolik. Akhirnya persoalan ini pun dapat
terselesaikan dan sampai sekarang keluarga ini tetap sebagai katolik dan ibu E.
Simbolon tetap aktif sebagai pengurus gereja.
Di tengah riak-riak
yang ada sampai pada tahun 1996 bisa dikatakan bahwa Gereja tetap eksis dengan
jumlah mencapai 40 KK. Kerajinan para pengurus untuk mengikuti kegiatan kursus
dan sermon tetap terbina. Hal ini dapat
dilihat dengan jumlah pengurus yang selalu hadir sampai berjumlah 4-5 orang. Satu hal yang membanggakan ialah
bahwa pada tahun 1996 gereja yang semi permanen direhab lagi sehingga bangunan menjadi permanen serta ditambah dengan pembuatan
teras. Mudika pun berkembang dengan
baik, hal ini dapat dilihat bahwa sekitar tahun 1996, mudika dari stasi ini
pernah menyabet juara III pesta Mudika se-paroki. Jumlah umat masih tetap berkisar
40 KK, meskipun ada satu dua orang yang pindah gereja, baik karena aturan
maupun karena memang pindah tempat tinggal.
Meskipun gereja sudah lama berdiri dan digunakan umat tetapi
baru pada tahun 1998, dalam kunjungan pastoral bapak Uskup A.G. Pius Datubara,
gereja ini diberkati dan sekaligus untuk memberikan sakramen Krisma. Pada tahun
ini juga tepatnya pada tanggal 12 April mengeluarkan sebuah keputusan berkenaan
dengan pengelolaan sawit di sekitar bagunan gereja. Keputusan tersebut sebagai
berikut: (1) Persenan hasil sawit ditentukan sebagai berikut: 10 % untuk upah
pemanen; 50 % untuk perawatan dan pembangunan gereja; 10 % untuk dana social
stasi; 5 % dana untuk paroki; 5 % dana untuk PIK dan 20 % dana untuk sosek
dewan stasi. (2) Pemanen diserahkan kepada anggota pengurus secara bergiliran.
Sekitar tahun 2000
lahan sawit
semakin diperhatikan lebih serius. Dan sekitar tahun ini juga terjadi peralihan sumber mata
pencaharian umat dari bercocok tanam menjadi perkebunan sawit. Perubahan ini
juga rupanya berimbas dalam kehidupan beriman umat. Perkembangan umat di stasi Pardomuan Nauli
ini, bisa dikatakan baik sampai tahun 2000 dan sesudahnya mengalami penurunan. Kemudian mengenai
persenan pembagian hasil sawit disepakati sebagai berikut: (1) 70 % untuk kas
stasi. (2) 15 % untuk pekerja. Dan 15 % lagi untuk paroki. Baik dari segi jumlah maupun dari
segi kualitas iman umat cukup terasa berkuang. Hal ini sangat terasa sampai
tahun 2006 jumlah umat menyusut yang tinggal hanya sekitar 30 KK.
Meskipun jumlah umat
berkurang namun umat dan juga para pengurus tetap merawat bangunan gereja maka
asbes gereja diganti dan bagian pengimaman dikeramik. Dan pada masa
kepemimpinan bapak D. Silalahi sekitar tahun 2013, lantai gereja seluruhnya
dikeramik dan pembuatan sumur bor untuk kamar mandi gereja. Saat ini jumlah
umat sudah berkurang lagi. Umat yang masih bertahan 28 KK. Berkurangnya jumlah
umat ini dikarenakan perpindahan tempat tinggal ke daerah lainnya. Akan tetapi
ada juga yang pindah karena tidak bisa mengikuti ketentuan-ketentuan Gereja
Katolik. Spiritualitas dan katolisitas umat bisa dikatakan masih memprihatinkan
karena itu sangat butuh pendampingan.
Pastor Paroki,
RP. Hiasintus Sinaga, OFMCap pada saat kunjungan pastoralnya senantiasa
menganimasi umat untuk secara bersama merenungkan perjalanan kehidupan
menggereja sesuai dengan visi misi paroki. Untuk mengupayakan kesuburan hidup
rohani sebagai landasan hidup menggereja dengan penuh semangat persaudaraan
penuh kasih. Untuk itu umat selalu didorong untuk bermenung bersama terhadap
sejarah stasi ini. Bersama dengan tim pastoral lainnya selalu menganimasi umat
dan pengurus dan menyempatkan untuk mengunjungi stasi ini maupun pada hari
biasa dan hari Minggu. Sekaligus pelan-pelan mengumpulkan data-data stasi untuk
dibuat sebagai profil stasi sejak dulu sampai sekarang. Tim pastoral juga masih
tetap memberi hati dan waktu untuk sekali-sekali mengujungi stasi ini pada
malam hari dengan kegiatan ibadat dan katekese kendati kehadiran umat sangat
memprihatinkan.
Para pengurus dari
periode yang satu ke periode yang selanjutnya: Tahun 1968: A. Retia Hasibuan (ketua) dan dibantu oleh A. Jumontang Nainggolan. Tahun 1971-1974: Op. Anju Sihombing (Ketua) dan
dibantu oleh anggota lainnya yakni : S. Pakpahan, S. Sinurat dan Bapak
Nainggolan. Tahun 1976- 1980: S. Pakpahan (Ketua) didampingi oleh para
anggotanya yaitu B. A. Silalahi, M. Pandiangan, D. br Situmorang, S. Sinurat. Tahun 1981-1983: S. Pakpahan (Ketua)
diperkuat oleh pengurus lainnya sebagai berikut: M. Pandiangan, B.A. Silalahi, J.
Nainggolan, D br Situmorang, T. Gultom. Tahun 1984 – 1990: B. A. Silalahi
(Ketua) dengan para anggota pengurus lainnya: S. Pakpahan (pindah), J.
Nainggolan, M. Nainggolan, G br Situmorang, M br Sianturi, S br Simanjuntak, M.
Pandiangan. Tahun 1991-1996: M. Pandiangan (ketua) didukung dengan pengurus lainnya: B. A. Silalah, J. Nainggolan, M. Nainggolan, G
br Situmorang, M. br Sianturi, S. br Simanjuntak, T. Gultom. Tahun 1997 – 2000:
T. Gultom (ketua) bersama dengan tim pengurus lainnya : J. Lumbanraja, A.
Bergiat Sinaga, J. Nainggolan, M. Nainggolan, G. br. Situmorang, M. br.
Sianturi, S. b.r Simanjuntak. Tahun 2001-2003: J. Lumbanraja (ketua) dengan
pengurus lain adalah S. br. Samosir, S. br. Simanjuntak, T. Gultom, M.
Lumbanraja, M. Nainggolan, J. Situmorang. Tahun 2003 – 2006: M. Nainggolan
(ketua), J. Lumbanraja, S. br. Samosir, S. br Simanjuntak, T. Gultom, M.
Lumbanraja, M. Nainggolan, J. Situmorang. Tahun 2006 -2009: M. Nainggolan
(ketua) dengan dampingan para pengurus lainnya yakni S. br. Samosir, E. Francis
Sinaga, D. Silalahi, M. Siburian, E. br Simbolon. Akan tetapi karena sesuatu
hal pada tahun 2007, KDPS yaitu bapak M. Nainggolan pidah dan saat itu dipilih
bapak E. Francis Sinaga untuk menjabat sebagai KDPS tetapi bapak ini juga hanya
sekitar 6 bulan sebagai Pjs, akhirnya tugas KDPS dilaksanakan oleh bapak D.
Silalahi. Tahun 2010 -2015: D. Silalahi (ketua) dan para anggotanya adalah: M.
Siburian, E. br. Simbolon, S. br. Samosir, J. Lumbanraja, (+) S. br. Simbolon, J.
Situmorang, Jasmin Lumbanraja.
Stasi Pulo Harapan |
Stasi St. Ignatius Jamburdamuli |
Stasi Simpang Empat |
Stasi Pinggol Toba |
Stasi Kilang Saudara |
Stasi Marjanji Aceh |
Stasi Tapian Nauli |