Terimakasih atas kunjungan Anda, komentar Anda pasti sangat berarti bagi kami. Salam.

Profil





 SEJARAH

Pada Awalnya
Sejak awal tahun 1940-an sudah ada  arus perantau (panombang) dari daerah Tapanuli ke belahan bagian Timur Sumatera Utara, bahkan sampai ke daerah Riau. Para perantau ini dalam kondisi “demam terjajah oleh Belanda terutama penjajahan  Jepang) tetapi sebagian  besar sudah beragama Kristen Muda (Protestan) dan sebagian lagi masih “Parmalim” atau bahkan masih animis. Jika diperhitungkan dari sudut historisnya, tentu sebagian kecil dari mereka  tentu  hamoir dapat dipastikan sudah ada yang sudah beragama Katolik.
Dalam “Sejarah Kabupaten Labuhan Batu Utara” disebut bahwa pada tahun 1942 tentara Dai Nippon (Jepang) menduduki seluruh wilayah Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 3 Maret 1942 tentara Jepang mendarat di Perupuk (Tanjung Tiram). Dari Perupuk sebahagian tentara Jepang melanjutkan gerakan merebut kota Tebing Tinggi dan seterusnya Medan. Setelah itu sebagian lagi bergerak menuju Tanjung Balai yang pada saat itu sebagai pusat pemerintahan Afdeling Asahan.  Dari Asahan (Tanjung Balai) melanjut ke wilayah Labuhanbatu untuk merebut kota Rantauprapat.
Menurut sumber yang tidak tertulis, ternyata bahwa dengan alasan untuk mempertahankan hidup dan masa depannya, para perantau dari Samosir dan Tapanuli yang sudah beragama Kristen Muda dan Parmalim serta aninimis atau mungkin juga yang sudah Katolik, terpaksa menganut agama Islam yang mengikuti masyarakat Melayu (penduduk setempat). Sebagian dari mereka lama kelamaan mereka masuk agama Islam dan bergabung dengan suku Dalle (Orang Batak yang pada umumnya beragama Islam). Mereka beredar di sekitar kabupaten Batubar, Asahan, Labura, Labuhan Batu Induk dan Labuhan Batu Selatan sekarang.
Masa Misionaris  Awal
Sebenarnya, para pastor misionaris periode paling awal, mula-mula ditempat-tugaskan di Tanjungbalai untuk lebih berfokus kepada orang Tionghoa dan sedikit banyaknya pada 'tuan kebun'. Secara berkala mereka mengunjungi orang Tionghoa yang tersebar di wilayah itu, termasuk Aekkanopan. Mungkin sekali sudah sejak Pastor Odilo Wap, OFMCap hal itu terjadi. Akan tetapi, mengenai Beliau, tidak ada data persis yang diketahui.
Pastor Restitutus Joosten, OFMCap dan terutama pastor Arthur Jansen, OFMCap tercatat sebagai pelopor yang datang dan berkarya di daerah ini dengan dua periode yakni periode 1948-1949, kemudian periode 1953-1962. Lambat laun mereka juga semakin memperhatikan dan mengunjungi/mengumpulkan orang Batak Perantau. Pastor Ezecchiel Vergeest, OFMCap. dan pastor Paternus van Litsenburg, OFMCap. serta pastor Meinrad Manzer, OFMCap ikut juga memperkuat kelompok misionaris awal ini, sampai ke daerah Aekkanopan.

Periode Lebih Lanjut
Sejak awal, umat perdana dilayani  para pastor misionaris  Kapusin dan Saverian dari paroki Tanjungbalai dan Kisaran.  Sebagai paroki,  Tanjungbalai berdiri secara resmi pada tahun 1947 dengan nama pelindung St. Mikael. Kemudian pada tahun 1968 paroki ini dimekarkan menjadi dua paroki yakni paroki St. Mikael Tanjungbalai dan Paroki Sakramen Maha Kudus Kisaran. Keduanya terletak di Kabupaten Asahan dan Batubara sekarang.

Pada pertengahan tahun 50-an atas semangat kerasulan yang gigih dari para pastor misionaris kapusin (P. Lucas Reinders OFMCap., P. Remigius Pennock OFMCap, P. De Wit OFMCap. dan P. Schepens OFMCap), datang dari Tanjungbalai dan Kisaran ke arah Labuhanbatu bahkan sampai ke daerah Kota Pinang
Arus kedatangan “panombang” dari Tapanuli makin lama makin kencang sampai pada tahun 1970-an.  Sebelumnya (di Tapanuli : Samosir dan Hasundutan masih bagian dari Tapanuli pada waktu itu)  mereka sudah memeluk agama Kristen atau Katolik,  tetapi di perantauan seputar daerah Labuhan Batu sekarang mereka tidak menemukan satu pun gereja di daerah LabuhanbatuDari Kisaran juga P. Clarus Sihotang, OFMCap juga cukup memberi perhatian sejak awal tahun 1972. 

Periode Akhir Sebelum Resmi Menjadi Paroki
Kelompok orang Katolik  pertama terbentuk di Stasi Tapiannauli tahun 1956 sedang Stasi  Aekkanopan resmi berdiri sebagai stasi baru pada tahun 1960. Akan tetapi karena Aekkanopan jauh lebih strategis dan menjanjikan perkembangannya, daripada stasi-stasi yang sudah lebih dahulu terbentuk, maka dalam perjalanan waktu  Aekkanopan ditetapkan menjadi Stasi Induk dan kemudian menjadi pusat paroki.

Tahun 1970-an usaha kerasulan para misionaris perdana ini,  disuburan lagi oleh semangat penggembalaan yang tak kenal lelah dari para pastor kapusin dan suster-suster KYM (P. Antonius Siregar, OFMCap., P. Beatus  Jenniskens  , OFMCap. P. Arie Van Diemen, OFMCap., dan Sr.Imelda Harianja, KYM, Sr. Helena Rumapea, KYM, Sr. Maristella, KYM dan Sr. Anastasia Sitohang, KYM) dan ditopang oleh tokoh umat perdana (B. Rajagukguk, Johanes Tan Kok Eng dan R.S. Siburian, dll.) mereka mempersiapkan Aekkanopan menjadi satu paroki yang baru.


Menurut kesaksian P. Arie van Diemen, OFMCap, dituliskan sebagai berikut via email  : “Pada awal tahun-tahun tujuhpuluhan  paroki Kisaran semakin tambah   luasnya dengan semakin berpindahnya umat ke Asahan dan Labuhan Batu, sampai daerah perbatasan Riau. Terutama mereka yang menggarap tanah, dari Tapanuli dan Samosir. Dari ujung ke ujung panjangnya paroki itu sudah lebih dari 200 km. Maka, Bapak Uskup v.d. Hurk menugaskan kami, khususnya pastor Schepens dan saya, untuk mencari tahu tempat yang strategis yang cocok untuk pemekaran paroki itu. Kami berdua segera sepakat : Aek Kanopanlah. Sebagai langkah pertama, sebaiknya, agar dalam jangka waktu agak singkat disusul dengan Aeknabara. Atas prakarsa beberapa pemuka jemaat, seperti R.Joewono, Johannes Tan Kok Eng, Binsar - A.Bukit - Rajagukguk dan Pak Siburian, ditemukan lokasi yang rasanya cocok. Sesudah ditinjau bersama oleh pastor Schepens, Jenniskens dan saya pada tgl 2/1/1975, maka tanah itu resmi dibeli di kantor camat pada tgl 17/3/1975. Agar bisa secepatnya pindah kesana, maka selama dua bulan berikutnya didirikan sebuah 'gubuk-gubuk' yang sederhana. Tepat pada waktu yang sama 'tersiar' berita bahwa Tahta Suci telah mengangkat pastor Pius Datubara seabgai Uskup Pembantu, dengan tujuan untuk sebentar lagi mengambil alih tugas Uskup Agung Medan. Sungguh, suatu peristiwa bersejarah bagi sejarah Keuskupan kita. Pengumuman resminya sampai pada tgl 24/5/75, 2 hari sesudah pastor Jennis dan saya pindah ke Aekkanopan.”
Masa Awal Paroki St. Pius X Aekkanopan
Pada tanggal 16 Mei 1975, Aekkanopan resmi sebagai paroki yang baru dengan nama Paroki St. Pius X Aekkanopan. Akan tetapi pastor paroki pertama, P. Arie van Diemen, OFMCap bersama pastor rekan P. Beatus  Jenniskens, OFMCap baru kemudian pindah dari Kisaran  ke Aekkanopan pada tanggal 26 Mei 1975.
Kantor Paroki Bekas Kantor CU
Tentu sebagai paroki yang sudah resmi, maka sarana-sarana yang mendukung keresmiaanya dibutuhkan, seperti stempel paroki. Untuk membuat stempel dibutuhkan nama pelindung resmi paroki ini juga. Santo Pius X secara spontan muncul dalam pikiran pastor Arie van Diemen, OFMCap.
Mengapa Santo Pius X ? Pastor Arie menulis: “Mengapa justru Pius X ? Karena masih agak kontemporer. Baru 60 tahun sebelumnya meninggal dunia, pada saat beliau terkejut mendengar Perang Dunia I telah pecah. Tetapi, terutama, karena ia sebagai Uskup Agung Venetia sangat dicintai dan akrab dengan umat yang sederhana. Sebagai Paus beliau mengusahakan agar perayaan liturgi lebih hidup-hidup oleh partisipasi umat beriman. Keputusannya yang amat terkenal yaitu bahwa umur anak-anak untuk boleh menyambut komuni kudus, dipercepatnya sampai tujuh tahun.Saat itu belum saya bisa menduga bahwa nama beliau kemudian 'dibacak' oleh kelompok-kelompok ultra konservatif dalam gereja yang ingin menghalangi segala perkembangan. Sangat pantas disesalkan.” Demikianlah tahap paling awal sebagai paroki baru dimulai sambil lebih serius memeta kondisi lapangan pastoral misioner di Aekkanopan.
Bagi pastor Arie, sejak awal paroki ini sangat menantang dan mengasyikkan. Selengkapnya Beliau menuliskan sebagai berikut: “Kesan saya ttg karya di paroki : amat menarik, menantang karena semua masih baru, fisik berat tetapi mengasyikkan, semangat para pemuka jemaat bergairah, umat masih gembira menerima pastor (+suster) karena bagi mereka masih sunggu kabar gembira ditongatonga tombak na gok rongit.”

Ungkapan ini sungguh memberi kesan bahwa pastor Arie dan pastor rekan lainnya serta para tokoh awam perdana benar-benar berjuang untuk permulaan awal paroki St Pius X ini. Medan pastoral begitu sangat berat dan masih banyak hutan asli. Lahan luas membentang subur dan sangat alamiah. Perikehidupan ekonomi sangat-sangat memprihatinkan. Akan tetapi umat masih membutuhkan para petugas pastoral dan disambut dengan sangat antusias. 
Makin lama berpastoral dan semakin masuk ke kondisi riil umat atau masyarakat sekitar, para petugas pastoral ini semakin melihat kebutuhan-kebutuhan hidup harian dan kebutuhan masa depan. Berbagai upaya dilakukan untuk melayani umat baik dari segi kehadiran pendampingan maupun dari segi materi (dana batuan) bagi umat yang sangat-sangat sederhana. Dan untuk menjawabi kebutuhan-kebutuhan ini semua, di sana sini lahan digarap dan dibeli. Sekolah, asrama dan CU didirikan. Kursus-kursus kaderisasi pengurus awam mulai ditangani. 



VISI – MISI – STRATEGI

Ungkapan Paroki Mandiri sudah sejak lama menjadi buah bibir di paroki ini. Dan paroki mandiri disebut-sebut sebagai visi dari paroki ini. Maka untuk semakin membantu paroki untuk menggapai kemandirian  yang kita harapkan itu, pada sidang paripurna tahun 2007, peserta sidang mencoba merumuskan lebih jelas apa yang menjadi visi dan misi paroki St. Pius X Aekkanopan.  Untuk semakin mendekati kondisi yang mandiri yang diharapkan, tentu sangat dibutuhkan kerja keras untuk untuk menunaikan misinya.

Visi :
Paroki St. Pius X Aekkanopan  bergerak maju atas semangat persaudaraan penuh kasih dan bahu membahu untuk menjadikan  hidup rohani yang subur sebagai landasan dan jiwa  kebersamaan  untuk menciptakan  kemandirian hidup meng-Gereja di tengah-tengah dunia.
Ruang Doa Komunitas Pastoran

Misi :
  1. Mengupayakan kesuburan hidup rohani
  2. Menanamkan semagat persaudaraan penuh kasih
  3. Menumbuh-kembangkan kerelaan tolong menolong demi kemandirian
        
 Perumusan Masalah
          Secara umum, di seantero paroki  sedang terjadi terjadi kelesuan hidup menggereja di tengah kegetiran kehidupan ekonomi yang memprihatinkan.  Kedangkalan penghayatan iman kekatolikan, kontaminasi penyakit-penyakit kemasyarakatan semakin menambah besarnya  krisis iman. Akibat dari kenyataan ini menggejalalah beberapa fakta berikut ini:
  1. Makin lama makin sedikit orang yang berminat datang untuk beribadat ke gereja dan semakin redup semangat doa-doa lingkungan dan keluarga.
  2. Antuasiasme kaum bapa dan kaum muda semakin jauh dari keutamaan seorang katolik beriman.
    Ruang Sakramen Mahakudus dalam Gereja
  3. Kerelaan menjadi pengurus Gereja semakin menipis.
  4. Kekompakan dan semangat persaudaraan serta kerjasama yang baik di antara keluarga-keluarga pengurus masih memprihatinkan.
  5. Rasa persaudaraan di kalangan umat tidak begitu kentara, sebaliknya justru sering terjadi bahwa di kalangan umat terjadi kecenderungan saling mempersalahkan, rentan terhadap sikap mencurigai dan ujung-ujungnya bermuara kepada kecenderungan saling membenci.
  6. Semangat tolong menolong dan “semangat mempersembahkan” demi kebaikan bersama atas nama Gereja semakin menipis.

Strategi
  1. Memberdayakan pengurus. (Sosialisasi periodisasi kepada umat, periodisasi, pelantikan oleh yang mulia Uskup Agung Medan, pendampingan pengurus / keluarga demi kekompakan dan penggalangan dedikasi, pembekalan pengurus / keluarga).
  2. Mengintensifkan dan mengefektifkan rapat pastoral setiap minggu, rapat rutin bulanan DPP, sermon rayon, rapat kerja pengurus dewan stasi sebagai kesempatan dan ajan memperteguh kesatuan dan kerjasama, menambah pengetahuan, ketrampilan dan sebagai ajang berbagi pengalaman serta tempat mengasah ketajaman pelaksanaan program. Melibatkan sedapat mungkin komisi-komisi keuskupan istimewa TRIKOM (katekese, liturgi dan kitab suci).
    Kantor CU Budimurni
  3. Berusaha terus menerus mewujudkan kesejahteraan hidup secara spiritual melalui perayaan-perayaan sakramental, peribadatan, dan pelayanan-pelayanan relevan lainnya.
  4. Berusaha terus menerus mewujudkan kesejahteraan hidup secara material melalui pengembangan hidup ekonomi yang berdasarkan kasih persaudaraan.
  5. Melibatkan segenap unsur dan lembaga demi pengembangan hidup menggereja yang subur;  Kerjasama dengan Ordo Kapusin, Kongregasi KYM, YUAS (Sekolah :TK, SD, SLTP dan SMA), Asrama dan CU.
  6. Memberdayakan seksi-seksi kategorial dengan penekanan pembinaan: PAK, PIK,Mudika, Mesdinar , Sekolah Minggu Seksi Keluarga, Sosek, Pembangunan.
  7. Meningkatkan mutu dan frekwensi kunjungan pastoral ke stasi dan keterlibatan unsur dewan rayon dan DPP untuk menggalang peningkatan prosentasi persembahan, iuran paroki.
  8. Membentuk dan memberdayakan komisi ekonomat paroki untuk mengatur anggaran belanja paroki dan membuat terobosan-terobosan penambahan sumber  dana yang mendukung jalannya program serta mempertanggungjawabkan ketertiban arus uang yang mengalir dengan setia membuat laporan keuangan yang accountable dan transparan.
  9. Membenahi keteraturan administrasi dengan pemantapan sistem kerja administrasi yang apik. Sekretaris fultimer mesti dioptimalkan.
  10. Mengupayakan gereja bersih, ramah pengunjung dan ramah lingkungan dan mengupayakan pembidaan dan pembekalan untuk siap melawan penyakit-penyakit kemasyarakatan seperti tuak dan isu beguganjang yang sudah sering menelan korban.
  11. Mengupayakan kompleks gereja, pastoran, kantor paroki, sekolah, wisma, sekolah dan asrama menjadi pelan-pelan sebagai “Spiritual Centre”.
  12. dll.